Friday, April 07, 2006

CONDET

JALAN Condet Raya, Jakarta Timur, yang menghubungkan daerah Cililitan-Gedong Cijantung selalu hiruk-pikuk. Ken-daraan bermotor tidak pernah putus lewat dan menghamburkan polusinya di mana-mana. Rumah-rumah gedongan gaya masa kini berdiri di mana-mana, seperti layaknya kawasan lain Ibu Kota, lengkap dengan stasiun pompa bensin.

Kawasan Condet yang di atas kertas disebut sebagai kawasan cagar budaya Betawi itu sama sekali tidak ada bedanya dengan kawasan permukiman Jakarta umumnya. Bangunan-bangunan bertingkat terlihat di mana-mana. Jalan-jalan beraspal pun sudah tembus dari tempat satu ke tempat lain. Di mana-mana dapat dilihat papan bertuliskan 'rumah ini dijual'. Kalau dibilang ada bedanya, kawasan itu memang sedikit lebih hijau.

Lebih 24 tahun lalu, kawasan itu diresmikan sebagai daerah cagar budaya Betawi dan sentra buah-buahan. Selembar surat keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin bernomor D.IV-115/e/3/1974 dikeluarkan untuk menguatkan kawasan seluas 18.228 hektar sebagai kawasan cagar budaya yang meliputi Kelurahan Batuampar, Balekambang, dan Kampungtengah.

Begitulah-seperti kebanyakan hal lainnya di negeri ini- kebijakan itu hanya berhenti di atas kertas. Ketidakjelasan konsep dan lemahnya pengawasan mengakibatkan kawasan cagar budaya itu tumbuh sebagaimana layaknya permukiman biasa. Pemda DKI sempat men-status-quo-kan kawasan itu pada tahun 1986 karena derasnya pembangunan perumahan. Saat itu pemda melarang mutasi tanah, tanaman maupun tata guna tanah di kawasan Condet.

Status quo juga tinggal omongan belaka. Sekitar tahun 1990, puluhan rumah mewah juga tumbuh di kawasan itu. Pemda DKI pun hanya melongo seperti macan kertas karena tidak mampu melakukan apa-apa atas tumbuhnya kawasan itu. Tidak ada kekuatan hukum pemda yang mampu menghambat dan menjaga Condet untuk tumbuh menjadi permukiman Betawi yang khas. Apalagi aparat malah lebih suka esek-esek menggosokkan jari dan telunjuk kepada warga yang mau kongkalikong.

Tidak heran jika saat ini, sama sekali tidak ada perbedaannya antara kawasan ''cagar budaya'' Condet dengan kawasan permukiman Ibu Kota lainnya. Warga Condet pun sama sekali tidak merasakan manfaat dari ditetapkannya kawasan mereka menjadi kawasan cagar budaya, kecuali kesulitan membangun karena larangan pemda. Sejumlah warga menilai, kebijakan cagar budaya Pemda DKI untuk Condet itu sama sekali tidak memperhitungkan keberadaan warganya, yang juga perlu hidup dan bermata-pencaharian sebagaimana layaknya warga Jakarta lain.

***
JIKA warga Condet ditanya, apa enaknya menjadi pemukim di kawasan cagar budaya, mungkin ia akan tertawa. Itu namanya ngelindur. ''Masyarakat Betawi asli yang berada di sini tidak memperoleh keuntungan sedikit pun dari penetapan Condet sebagai Cagar Budaya,'' tutur M Rosyid Achmad.

Pemda DKI memang disebut-sebut memberi bantuan kepada Condet. Seumur-umur kawasan itu ditetapkan menjadi kawasan cagar budaya, Pemda DKI pernah memberi bantuan untuk membangun sebelas rumah khas Betawi di Kelurahan Balekambang dan enam rumah di Batuampar. ''Selain itu, tidak ada dampak peningkatan hidupnya bagi masyarakat Betawi,'' jelas Achmad, yang juga mantan Sekretaris Lurah Batuampar .

Ujung-ujungnya malah warga mendapat kesulitan karena tanah terkena ketentuan khusus sebagai kawasan cagar budaya. Untuk membangun gubuk saja-istilahnya-sulitnya minta ampun karena untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) sulitnya minta amplop, eh minta ampun.

Harga tanah tidak pernah lebih dari Rp 500.000 per meter perseginya. Kalau lagi butuh duit, saat ini warga paling menjual tanahnya seharga Rp 300.000 hingga Rp 500.000 per meter persegi. Padahal kalau Condet bukan kawasan cagar budaya, harga tanah bisa mencapai Rp 1 juta per meter. ''Gara-gara dinamain cagar budaya segala, orang luar jadinya ragu-ragu kalau mau membeli tanah di sini. Padahal kehijauan dan dinginnya daerah ini merupakan daya tarik Condet untuk menjadi pemukiman,'' kata seorang warga Betawi di ujung Jl Kober Balekambang. ''Tuh rumah tetangga saya saja nggak laku-laku,'' katanya sambil menunjuk sebuah gang di Jl Gardu.

Kawasan Condet memang merupakan daerah yang memiliki koefisien dasar bangunan (KDB) yang rendah, 20 persen. Artinya, dari lahan yang dimiliki hanya 20 persennya saja yang boleh dibangun. Dengan KDB demikian itu maka hanya mereka yang memiliki tanah minimal seluas 500 meter persegi yang boleh mendapatkan IMB. Padahal setelah tanahnya dijual sana-sini, masyarakat Betawi sendiri tanahnya paling pol 100 sampai 200 meter persegi saja.

''Kalau sudah demikian, mereka datang kepada saya untuk minta izin membangun rumahnya sendiri di tanah yang cuma segitu-gitu-nya. Apa lalu saya harus menolaknya? Nah di sini cagar budaya itu menjadi buah simalakama bagi saya,'' tutur Lurah Achmad. Bicara sebagai pribadi, dia lebih suka cap cagar budaya Betawi untuk Condet itu dicabut saja.

Di Kelurahan Balekambang saja dengan luas wilayah 167,450 hektar kini hanya tinggal 35 persen saja yang masih merupakan kebun salak dan dukuh. Atau cuma 58 hektar saja. ''Sedangkan selebihnya sudah merupakan bangunan yang sebagian besar tidak memiliki IMB,'' ungkap Achmad. He..he.. yang aneh kok pelanggaran itu malah dibiarkan. ''Jadi tidak heran jika kawasan Condet sebagai cagar budaya itu tambah ruksak saja,'' ujar seorang warga.

Jika Condet saja bisa dibilang gagal, lalu kawasan Srengsengsawah di-incer untuk cagar budaya Betawi, ya orang Betawi cuma titip pesen buat para petinggi Pemda DKI, ''Cuma keledei yang jatuh dua kali di lubang yang same,''. Dan yang pasti, para petinggi pemda 'kan bukan keledai. Percaya deh!


Sumber sejarah : Kcm

'Revolusi' Bulan April di Condet

Sabtu, 09 April 2005
'Revolusi' Bulan April di Condet


Memasuki kawasan Condet dari arah Cililitan dikenal sebagai salah satu pusat kemacetan di Jakarta Timur. Padahal Condet, yang terdiri dari tiga kelurahan (Bale Kambang, Batu Ampar dan Kampung Tengah) luasnya 632 hektare kira-kira lebih separuh lapangan Monas pernah hendak dijadikan Cagar Budaya Betawi. Alasan Bang Ali 30 tahun lalu, karena 90 persen masyarakatnya asli Betawi. Kala itu, 60 persen penduduk Condet petani salak dan duku, 20 persen buah-buahan lainnya, dan hanya 15 persen buruh/karyawan.

Kini, kebun dan tanah pertanian berubah jadi perumahan dan gedung bertingkat. Tidak ditemui lagi duku dan salak condet yang manis dan masir. Pohon-pohon melinjo yang dijadikan emping ketika ratusan 'home industri'-nya menjamur di Condet kini sudah hampir tidak membekas. Warga Betawi sudah banyak hengkang. Sejumlah warga Betawi yang tersisa, kini tidak lagi menjual tanahnya seperti dulu. Mereka membangun rumah-rumah petak untuk dikontrakan. Hasil kontrakan cukup untuk hidup sederhana.

Banyak warga keturunan Arab dari Jakarta dan Jawa Timur kini tinggal di Condet. Seperti di Jl Condet Raya -- jalan raya dua jalur yang selalu macet --, kini banyak penjual minyak wangi, kitab bahasa Arab, madu Hadramaut dan Arab sampai rumah makan penjual nasi kebuli. Tentu saja sejumlah gedung dan kantor penampungan TKW.

Kita mengangkat masalah Condet, karena dalam bulan April ini ada peristiwa besar di sini. Tepatnya pada 15 April 1916, ketika Haji Entong Gendut memimpin para petani di depan rumah Lady Rollensin, pemilik tanah partikulir Cililitan Besar. Pada pertengahan abad ke-17 kawasan Cililitan merupakan bagian dari tanah partikulir Tandjong Oost (kini Tanjung Timur), saat dimiliki Pieter van der Velde.

Setelah beberapa kali berpindah tangan, awal abad ke-20 jadi milik keluarga Rollinson. Sisa-sisa gedung ini yang pernah terbakar masih kita dapati, saat masih jadi rumah peristirahatan Vila Nova. Terletak di depan Markas Latihan Rindam Kodam Jaya (ujung Jl Raya Condet), bersebelahan gedung PP dan Super Indo Market. Kala itu, gedung tuan tanah pekarangannya begitu luas hingga mencakup kawasan Tanjung Barat dan Kramat Jati. Belanda menamakan Groeneveld (lapangan hijau). Di sini terdapat peternakan sapi dengan produksi ribuan liter susu per hari untuk konsumsi masyarakat Belanda di Batavia.

Kembali kepada Entong Gendut, ia seorang berani. Gelar haji menunjukkan ia orang bertakwa. Berlainan dengan jagoan masa kini, waktu itu Entong Gendot pembela rakyat tertindas. Melawan kekuasaan kolonial: tuan tanah yang memeras, dibantu wedana dan menteri polisi yang disebut upas. Syahdan para tuan tanah masa itu tidak kalah serakahnya dengan para koruptor masa kini. Hingga masyarakat bertanya-tanya apakah pemerintahan SBY-YK bisa memberantas dan menghukum mereka.

Di Condet kekejaman terjadi saat Vila Nova yang sering dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk berakhir minggu, dijual pada Lady Robinson, orang kaya berkebangsaan Inggris. Lebih-lebih terhadap petani yang gagal membayar pajak. Dan tuan tanah kelewat getol mengadukan mereka ke landrad (pengadilan) untuk membikin perkara. Akibatnya banyak petani bangkrut, rumahnya dijual, tak jarang dibakar. Termasuk harta miliknya Pak Taba. Dan ketika eksekusi hendak dilaksanakan, rakyat Condet marah dan ramai-ramai mendatangi vila Nova guna menggagalkannya. Itu terjadi Februari 1916.

Insiden kedua April 1916. Waktu itu tengah berlangsung pertunjukan topeng. Dan ketika pertunjukan mendekati pukul 11 malam, terdengar teriakan-teriakan. Acara supaya dihentikan. Perintah datang dari Entong Gendut. Rakyat patuh kepada tokoh kharismatik ini dan mereka bubaran dengan tenang.

Rupanya kala itu Entong ingin membuat pemanasan. Ketika ia ditanya aparat kenapa ia berani nyetop pertunjukan topeng, ia menjawab: ''Demi Agama'. Ia hendak mencegah perjudian. Sambil dengan tegas dan memegang keris ia berikrar: 'Siap untuk membela petani yang jadi korban kejahatan tuan tanah'.

Kemudian ada info yang memberihu para pejabat di Pasar Rebo dan Meester Cornelis banyak orang berkumpul di rumah Entong Gendut. Ketika wedana diiringi para upas berseru agar Entong keluar rumah, ia dengan suara mantap berkata: ''Saya akan keluar setelah shalat.'' Ketika ia keluar, disertai ratusan para pengikutnya sambil berteriak: Sabi'ullah gua kagak takut mati. Pertempuran yang tidak seimpang terjadi. Tapi pihak Belanda kewalahan. Kemudian bantuan datang, dan Entong Gendut tertembak mati sebagai sahid.

Setelah pemberontakan Entong Gendut dipadamkan, sikap tuan tanah makin kejam. Rakyat yang sudah biasa ditakut-takuti itu akhirnya berani lagi mencoba melawan peraturan tuan tanah yang kejam. Pemberontakan kedua terjadi tidak sampai dengan kekerasan senjata. Ini berupa penjajagan, sampai di mana keberanian antek-antek tuan tanah tadi. Percobaan dilakukan dengan penebangan pohon-pohon besar yang tumbuh di tanah kuburan. Demikianlah pada 1923 terjadi penebangan di tanah pekuburan di Condet, yang mereka namakan Kober. Suatu keberanian melawan tindakan yang diharamkan Belanda.

Setelah itu rakyat Condet makin berani melawan kompeni. Hingga tidak jarang yang menunggak pajak. Ini berlangsung hingga 1934. Dipelopori beberapa orang rakyat Condet mengadukan kepada pengadilan mengenai tuan tanah keturunan Jan Ameen. Rakyat meminta bantuan hukum pada Mr Sartono, Mr Moh Yamin, Mr Syarifuddin dll. Rakyat Condet menang perkara, tetapi seperti diuraikan oleh Ran Ramelan, penulis buku ''Condet Cagar Budaya Betawi'', sejauh ini belum ada keputusan, sehingga datang Pemerintahan Federal. Untuk mengenang kepahlawanan Entong Gendut, pernah diusulkan agar salah satu jalan di Condet diabadikan nama almarhum.
(Alwi Shahab, Wartawan Republika )

Condet Cagar Sejarah Betawi

Republika, Minggu, 11 Nopember 2001
Condet Cagar Sejarah Betawi
Oleh Alwi Shahab

Condet, yang ditetapkan gubernur Ali Sadikin sebagai cagar budaya Betawi sejak 1976, boleh dikata gagal total. Warga Betawi yang dulu mayoritas di kawasan Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur ini, sudah banyak yang hengkang atau makin terdesak ke pedalaman. Sementara kebun dan pepohonan rindang yang dulunya boleh dikata tidak tertembus sinar matahari saking rimbunnya, kini berganti menjadi rumah-rumah dan gedung bertingkat.

Gagal menjadikan Condet sebagai cagar budaya, kini datang usulan baru. Pemprov DKI Jakarta diminta menjadikan Condet sebagai cagar sejarah Betawi. Usulan ini terlontar dalam seminar 'Pengembangan Pelestarian Budaya Betawi', 6 Oktober 2001, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Menjadikan Condet sebagai cagar sejarah, menurut budayawan dan politisi Betawi, Ridwan Saidi, punya dasar yang kuat.

Ia mengemukakan temuan arkeologis pada situs Condet mengindidikasi hunian purba, sedikitnya pada periode 3000 tahun SM. Toponim di Condet (Ciondet) seperti Batualam, Batu Ampar, Bale Kambang, Pangeran, Dermaga, mencerminkan kehidupan masyarakat dan kebudayaan masa lampau. Dinas Kebudayaan dan Permusiuman DKI Jakarta, pada penelitian arkeologis pada tahun 1970-an telah menemukan benda-benda prasejarah seperti kapak, beliung, gurdi, dan pahat dari batu.

Benda-benda itu banyak terdapat di tepian sungai Ciliwung, di daerah Condet dan Kalibata Pejaten, Jakarta Selatan. Benda-benda ini diduga berasal kira-kira 1000 - 1500 SM. "Pada masa itu, di Condet dan beberapa tempat di Jakarta sudah ditempati nenek moyang bangsa Indonesia," tulis sejarawan Sugiman MD dalam buku 'Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi.' Berarti di zaman batu baru (neolithic) orang telah hidup dan tinggal di Condet, dengan mempergunakan benda-benda tadi sebagai alat untuk menebang pohon, memotong, dan untuk berbagai keperluan lainnya. Khusus di Pejaten, pada penggalian 1971 didapat pula lampu perunggu, lampu kuil, menandakan di sana telah dikenal orang akan adanya kepercayaan atau agama.

Untuk lebih memperkuat usulannya kepada Pemprov DKI, Ridwan mencontohkan batu ampar yang kini menjadi nama jalan dan kelurahan di Condet. Batu ampar yang di Tangerang disebut batu ceper adalah batu yang biasanya berukuran minimal 4 x 6 meter. Di atas batu ini sesajen diletakkan. Sangat mungkin batu ampar di Condet masih ada di suatu tempat di kebon penduduk. Bale Kambang, nama kelurahan di Condet, merupakan pasanggrahan raja-raja. Dapat dipastikan sisa bangunannya sudah musnah, tetapi lokasinya masih dapat diperkirakan. Sedangkan batu alam, juga nama jalan di Condet, dalam tradisi kekuasaan purba, adalah tempat melantik raja baru.

Di samping merupakan permukiman tertua di Jawa, Condet yang penduduknya sangat taat menjalankan syariat agama, pernah dikenal sangat heroik melawan penjajah. Pada 1916, rakyat Condet di bawah pimpinan Haji Tong Gendut mengangkat senjata melawan tuan tanah Belanda yang menguasai Cibeureum, Kranggan, dan Cimanggis, di Kabupaten Bogor. Tempat tinggal tuan tanah itu di depan Jl Raya Condet sekarang ini, yakni di Kampung Gedong. Rumah tuan tanah ini disebut kongsi, yang kini dipakai untuk Kesatrian Polisi Tanjung Timur. Tong Gendut mengumpulkan para pemuda berjihad fi sabilillah melawan tuan tanah yang selalu memeras penduduk. Tetapi pemberontakan ini dapat digagalkan.Pemberontakan kedua terjadi 1923, tidak menggunakan kekerasan senjata, melainkan dengan melakukan penebangan pohon-pohon besar. Pemberontakan ini berhasil membuat para mandor tuan tanah mundur, karena tidak berani menghadapi massa rakyat.Sejak saat itu, rakyat Condet makin berani melawan Belanda, termasuk menunggak pajak atau blasting. Ini berlangsung hingga 1934, tahunketika rakyat Condet mengadukan kepada pengadilan mengenai pemerasan yang dilakukan tuan tanah. Rakyat meminta bantuan hukum kepada tokoh-tokoh perjuangan: Mr Sartono, Mr Moh Yamin, Mr Syarifuddin, dan lain-lain. Rakyat Condet akhirnya menang perkara. Tetapi keputusan baru datang setelah pemerintah Federal. Di masa federal ini, Belanda mengambil hati rakyat Condet, dengan menghapuskan tuan tanah.

DUKU CONDET

Gambar Duku Condet

TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN PANGAN

DUKU CONDET
Family : Meliaceae

Deskripsi
Duku condet merupakan salah satu jenis duku unggul yang berasal dari daerah sekitar Condet, DKI Jakarta. Buah duku kebanggaan warga Jakarta ini berbentuk bulat agak lonjong. Salah satu keistimewaannya adalah kulitnya tipis dengan warna kuning agak ` kecokelatan. Daging buahrlya berwarna putih jernih dan rasanya manis. Persentase daging buahnya berkisar antara 52-64%. Ukuran bijinya relatif kecil. Termasuk jenis duku langka sehingga keberadaannya dilindungi. Sosok tanaman duku berupa pohon yang tingginya dapat mencapai 40 m. Buahnya terdapat dalam dompolan dompolan. Pada waktu muda buah duku berwarna hijau dan bergetah. Setelah tua berubah menjadi kuning dan sedikit getahnya. Bentuk buahnya bulat atau bulat telur dengan diameter antara 2-4 cm. Daging buahnya tebal, berwarna putih bening, rasanya manis, dan tersusun dalam siungan-siungan. Bijinya kecil, berwarna hijau, rasanya pahit, dan terdapat di dalam daging buah.

Manfaat
Buah duku pada prakteknya selalu dimakan dalam keadaan segar setelah dikupas dengan tangan, tetapi buahnya yang tanpa biji dapat dibotolkan dalam sirop. Kayunya yang berwarna coklat muda keras dan tahan lama, serta digunakan untuk tiang rumah, gagang perabotan, dan sebagainya. Kulit buahnya yang dikeringkan di Filipina dibakar untuk rnengusir nyamuk. Kulit buah itu juga dimanfaatkan sebagai obat anti diare, berkat kandungan oleoresinnya. Bagian tanaman lainnya yang digunakan sebagai obat adalah bijinya yang ditumbuk digunakan oleh penduduk setempat di Malaysia untuk menyembuhkan demam, dan kulit kayunya yang rasanya sepet digunakan untuk mengobati disentri dan malaria; tepung kulit kayu juga digunakan sebagai tapal untuk menyembuhkan bekas gigitan kalajengking.

Syarat Tumbuh
Duku dapat tumbuh dan berbuah baik di dataran rendah hingga ketinggian 600 m dpl. Duku dapat tumbuh dan be'rbuah baik pada tipe tanah latosol, podsolik kuning, dan aluvial. Curah hujan 1.500-2.500 mm per tahun. Tanah yang sesuai mempunyai pH antara 6-7. Tanaman lebih senang ditanam di tempat yang terlindung. Oleh karena itu, tanaman ini biasanya ditanam di pekarangan atau tegalan, bersama dengan tanaman tahunan lainnya seperti durian, jengkol, atau petai. Duku toleran terhadap kadar garam tinggi, asalkan tanahnya mengandung banyak bahan organik. Duku juga toleran terhadap tanah masam atau lahan bergambut. Tanaman ini toleran terhadap iklim kering, asalkan kandar air tanahnya kurang dari 150 cm. Tanah yang terlalu sarang, seperti pada tanah pasir, kurang baik untuk tanaman duku. Namun, tanah berpasir yang mengandung banyak bahan organik dapat digunakan untuk tanaman duku, asalkan diberi pengairan yang cukup.

Pedoman Budidaya
Tanaman diperbanyak dengan biji. Biji ini dibersihkan dari daging yang melekat pada biji (arilus), kemudian disemaikan langsung karena biji duku tidak dapat disimpan lama. Biji duku bersifat poliembrioni sebesar l0-50%. Perbanyakan secara vegetatif dilakukan dengan sambung pucuk. Batang bawah berasal dari semai biji duku berumur setahun lebih. Perbanyakan dengan penyusuan berhasil baik, tetapi dapat dipisahkan dari pohon induknya setelah 4-5 bulan kemudian. Sementara, cara okulasi jarang dilakukan karena kesulitan mengambil mata tempelnya. Cara cangkok juga jarang dilakukan karena pertumbuhan bibitnya lemah meskipun dapat berakar. Bibit dari biji mempunyai masa remaja (juvenil) panjang, antara 8-17 tahun. Umur mulai berbuah untuk bibit vegetatif belum jelas, tetapi di Thailand bibit sambungan mulai berbuah pada umur 5-6 tahun. Cabang entres diambil dari varietas unggul yang daunnya masih muda, tetapi sudah mulai menua, biasanya menjelang musim hujan. Untuk memperoleh hasil sambungan tinggi sebaiknya daun cabang entres dirompes dua minggu sebelum cabang dipotong. Di Filipina, sebagai batang bawah yang kompatibel digunakan semai Dysoxylum altisimum Merr. dan Dysoxlum floribundum Merr. Duku ditanam pada jarak tanam 6-8 m dalam lubang berukuran 6o cm x 6o cm x 50 cm. Setiap lubang diberi pupuk kandang yang telah jadi sebanyak 20 kg/lubang. Bibit ditanam pada umur 1-2 tahun atau setelah mencapai tinggi 75 cm lebih. Pupuk buatan berupa campuran 100 g urea, 50 g P2O5, dan 50 g KCl per tanaman diberikan empat kali dengan selang tiga bulan sekali. Setelah ditanam, bibit harus diberi naungan dengan atap daun kelapa atau jerami kering. Kondisi lahan di sekitar bibit harus dij aga agar tetap lembap.

Pemeliharaan
Pohon muda hendaknya dinaungi dengan baik dan disirami selama beberapa tahun pertama. Pucuk utama langsat yang bertipe tegak harus dipenggal, dan cabang-cabang lateral yang tumbuh diikat supaya tumbuh mendatar, agar perawakannya lebih memencar. Pada pohon yang lebih tua, hanya pucuk pucuk air dan cabang-cabang yang kena penyakit yang perlu dipangkas. Pemberian mulsa yang banyak dianjurkan. Persyaratan kebutuhan haranya barangkali rendah, berkat pertumbuhannya yang lambat dan hasilnya yang rendah, tetapi pemupukan yang ringan di awal musim hujan dan setelah panen mungkin bermanfaat, terutama jika ingin diproduksi hasil yang besar. Pengairan dapat digunakan untuk mempercepat pembungaan satu atau dua bulan, asalkan calon bunga telah muncul selama periode kering sebelumnya. Perbungaan mulai tumbuh 7-10 hari setelah penyiraman. Suatu masa kering yang pendek, yang terjadi ketika buah masih menempel di pohonnya akan menimbulkan bahaya turunnya panen secara serius, disebabkan oleh pecahnya buah jika kekurangan air itu tiba-tiba dipulihkan.

Hama dan Penyakit
Penyakit busuk akar dan antraknosa merupakan 2 macam penyakit yang berbahaya, yang masing-masing menyerang pohon dan buah duku. Belum jelas betul patogen mana yang menyebabkan busuk akar, sebab belum ada bukti bahwa Phytophthora spp. terlibat dalam hal ini. Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) tampak berupa bintik kecoklatan yang berukuran kecil sampai besar pada rangkaian buah; serangan ini menyebabkan buah berguguran lebih awal, dan juga menyebabkan kerugian pasca-panen. Penggerek kulit kayu, merupakan hama yang umum, terutama pada langsat yang bertipe tegak, yang seringkali menyebabkan jeleknya penampilan ranting-rantingnya yang mati oleh ulat-ulat ngengat 'carpenter' (Cossus sp.) dan ngengat hijau (Prassinoxema sp.). Ulatnya menjadi pupa di dalam lorong. Hama-hama ini aktif sepanjang musim hujan; sebagian kerusakan disebabkan oleh rusaknya kuncup bunga: Petani duku mencolek kulit kayu yang lepas dari cabang yang terserang, membunuh penggerek penggerek yang muncul, dan mengecat dengan insektisida cabang yang telah dibersihkan terlebih dahulu. Penggerek-penggerek lain menyerang batang, ranting, dan buah. Di Malaysia, ulat penggerek buah dapat menyebabkan banyak sekali buah rontok; buah-buah yang terserang itu hendaknya dikumpulkan dan dikubur untuk memotong daur hidup hama ini: Di Indonesia, larva kumbang 'weevil' dijumpai di dalam buah duku. Kutu perisai dan kutu kecil (mites) dapat pula menimbulkan kerusakan yang hebat. Kelelawar, burung, dan tikus suka sekali memakan buah duku; pemberantasannya yang efektif adalah menyinari dengan baterai pada rnalam hari dan membungkus tandan-tandan buah dengan kantung-kantung nilon. Daunnya dirusak oleh binatang pengebor daun, penggulung daun, kumbang, dan kutu.

Panen dan Pasca Panen
Buah duku dipanen dengan jalan dipanjat pohonnya dan dipotongi tandan-tandan buahnya yang matarig dengan pisau atau gunting pangkas. Hendaklah hati-hati agar tidak melukai bagian batang tempat menempelnya gagang tandan, sebab perbungaan berikutnpa akan muncul dari situ juga. Kenyataannya, daripada memanjat pohonnya Iebih baik menggunakan tangga, sebab tindakan demikian akan mengurangi kerusalcan kuncup-kuncup bunga yang masih dorman. Diperlukan empat atau lima kali pemanenan sampai semua buah habis dipetik dari pohon. Hanya pemetikan buah yang matang, yang ditaksir dari perubahan warna, yang akan sangat memperbaiki kualitas buah. Umumnya buah yang berada dalam satu tandan akan matang hampir bersamaan, tetapi jika pematangan tidak bersamaan, akan sangat menqulirkan pemanenan. Buah duku harus dipanen dalam kondisi kering, sebab buah yang basah akan berjamur jika dikemas. Penanganan pasca panen Duku merupakan buah yang sangat mudah rusak, kulit buahnya berubah menjadi coklat dalam 4 atau 5 hari setelah dipanen. Buah dapat dibiarkan di pohonnya selama beberapa hari menunggu sampai tandan-tandan lainnya juga matang, tetapi walau masih berada di pohonnya buah-buah itu tetap akan berubah menjadi coklat, dan dalam waktu yang pendek tidak akan laku dijual di pasar. Penyimpanan dalam kamar pendingin dengan suhu 15° C dan kelembapan nisbi 85-90% dapat memungkinkan buah bertahan sampai 2 minggu, jika buah-buah itu direndam dahulu dalam larutan benomil (4 g/1). Buah duku dipasarkan dalam keranjang-keranjang bambu yang dialasi koran bekas atau daun pisang kering. Seringkali buah-buah itu dipilah-pilah dahulu sebelum dijual.

Sumber
Widyastuti Y.E., Paimin F.B., Mengenal Buah Unggul Indonesia, Penebar Swadaya, Indonesia, 1993 Verheij E.W.M., Coronel R.E., Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2, Buah-buahan Yang Dapat Dimakan, Prosea, Gramedia Pustaka Utama, 1997. Sunarjono H.H., Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah, Penebar Swadaya, Indonesia, 2005

Asal nama Gedong (Kampung & Jalan di Condet)

Betawi Seabad Silam

Rumah Tua Tanjung Timur
18 November 1903

MENURUT Bintang Betawi, kemarin telah meninggal dunia Tjaling Ament, tuan tanah Tanjung Oost (Tanjung Timur) dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dibawa dari rumahnya di Gambir untuk dikuburkan di Tanjung Timur. Sejumlah pembesar gubernemen, terutama dari kantor asisten residen Meester Cornelis, datang melayat.
Sejak beberapa waktu yang lalu Ament tidak tinggal lagi di Tanjung Timur, karena kawasan itu tidak aman, sering disatroni perampok. Padahal landhuis (rumah peristirahatan) di Tanjung Timur itu sangat besar dan merupakan bangunan yang terkenal di masa kumpeni. Dari keberadaan landhuis itulah lahir nama kampung atau Jalan Gedong di jalan menuju Condet.
Landhuis Tanjung Timur kini tidak lagi bisa dinikmati, karena terbakar pada tahun 1985. Sisa-sisanya dapat disaksikan di dekat Jalan Gedong, simpangan dari jalan besar menuju Bogor. Atau persis tusuk sate Jalan Condet Raya di Jalan Arteri TB Simatupang. Terletak di sebelah timur Kali Ciliwung, lokasinya tidak jauh dari pabrik Friesche Vlag, enam kilometer sebelah selatan Kramat Jati.
Sejarah landhuis Tanjung Timur tidak bisa dipisahkan dari Willem Vincent Helvetius van Riemsdijk, anak lelaki dari Gubernur Jendral Jeremias van Riemsdijk yang menjadi gubernur jendral pada tahun 1775-1777.
Tetapi kalau ditelusuri siapa yang membangun landhuis Tanjung Timur, kita akan sampai pada Pieter van de Velde, anak dari Amersfoort, yang tahun 1740-an menjabat klerk. Ia kemudian menjadi anggota Dewan Hindia, direktur dari Sositet Amfiun dan pimpinan rumah sakit. Ketika terjadi pembantaian orang Cina pada tahun 1740, ia mengambil alih tanah di sebelah selatan Meester Cornelis, yang sebelumnya dimiliki oleh Kapiten Cina Ni Hu Kong. Sampai tahun 1750 ia menambah penguasaan tanah di situ, antara lain dengan membeli tanah Bupati Cianjur, Aria Wiratanoe Datar. Tanah itulah yang kemudian dikenal sebagai tanah Tanjung Timur atau Groeneveld.
Di atas tanah itu pada tahun 1756 ia membangun rumah besar (landhuis) dengan model berbeda dari rumah-rumah Belanda di kota tua. Bentuknya adalah vila tertutup. Van de Velde tidak lama menikmati rumah besar itu. Ia meninggal pada tahun 1763. Pewarisnya menjualnya pada tahun 1759 pada Adriaan Jubbels, seorang tuan tanah kaya-raya dari usaha penggilingan tebu di sekitar Betawi. Ketika ia meninggal pada tahun 1763, rumah Groeneveld dibeli oleh Jacobus Johannes Craan, yang kemudian memperbaiki bangunan dan mengganti pintu dengan kayu ukiran.
Craan merupakan pemilik tanah yang kaya-raya dengan sejumlah jabatan yang menguntungkan. Ia tidak saja menjadi direktur dari Sositet Amfiun (perkumpulan candu), komisaris dari tanah-tanah milik kumpeni di daerah hulu (udik) Betawi, dan menjadi anggota Dewan Hindia.
Craan yang mengawini gadis berumur 15 tahun itu sempat lama tinggal di situ. Salah seorang anaknya, Catharina Craan, menikah dengan Helvetius van Riemsdijk.
Ketika ayah mertuanya meninggal, Riemsdijk memperoleh warisan tanah luas itu pada tahun 1781. Perjalanan hidup Riemsdijk muda ini dengan jelas menunjukkan adanya KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) di lingkungan kumpeni.
Riemsdijk muda dilahirkan pada tahun 1752. Ayahnya, Jeremias van Riemsdijk, merintis dari bawah. Ia pernah menjadi kapten dalam dinas kumpeni. Pada tahun 1735 dalam usia 23 tahun Jeremias hidup tanpa uang di Hindia Timur. Tetapi hanya dalam waktu sepuluh tahun ia menjadi tokoh yang kaya dan berpengaruh di Betawi. Posisi itu membuat keturunan Riemsdijk mudah mendapatkan jabatan di lingkungan kumpeni.
Helvetius Riemsdijk masuk dengan pangkat asisten. Tujuh tahun kemudian ia mencapai jabatan administratur tingkat satu, dan ditempatkan di pulau Onrust, pulau tempat memperbaiki kapal-kapal kumpeni.
Sejak menduduki jabatan penting, mulai tahun 1790-an ia mengoleksi tanah-tanah di berbagai kawasan penting Betawi. Misalnya Tanah Abang, Cibinong, Cimanggis, Papisangan, Ciampea, Cibubulang, Sadeng, dan terutama sekali Tanjung Timur. Pada tahun 1777 jumlah penghasilannya mencapai 453.000 rijksdaalder (1 rds = 2,5 gulden).
Salah seorang anaknya, Daniel van Riemsdijk (1783-1860) tinggal di tanah itu. Ia seorang petani sukses, yang sempat memiliki 6.000 sapi. Maka sejak tahun 1830 Tanjung Timur dikenal sebagai tempat penghasil susu.
Ketika ia meninggal pada tahun 1860, warisannya jatuh pada anak perempuan Dina Cornelia, yang kemudian menikah dengan Tjaling Ament, seorang Belanda berasal dari Fries.
Landhuis Tanjung Timur juga mencatat peristiwa bersejarah, ketika Gubernur Jendral Van Imhoff bertemu dengan Ratu Syarifa Fatimah, yang menjadi penguasa Banten, setelah suaminya sakit. Mereka merundingkan hubungan yang lebih baik antara kumpeni dan Banten. Tetapi perundingan itu tidak mampu mengubah jalannya sejarah. ( Adit SH, sejarawan dan pengamat sosial, tinggal di Jakarta)

Kawasan Cagar Budaya Condet Akan Dievaluasi

Laporan : Egidius Patnistik
Jakarta, KCM
Pemprov DKI Jakarta akan mengevaluasi penetapan Condet, Jakarta
Timur, sebagai kawasan cagar budaya. "Kita akan evaluasi. Nanti saya
panggil semua dinas-dinas terkait untuk melakukan evaluasi atas soal
itu," kata Gubernur Sutiyoso di Balaikota, Senin (3/4).

Warga Condet dan anggota DPRD DKI Jakarta, Martin Makatita, Sabtu
(1/4) lalu, mengusulkan agar penetapan Condet sebagai kawasan cagar
budaya melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Nomor
D.IV-115/E/3/1974 dicabut. Alasannya, kawasan itu telah gagal
sebagai kawasan cagar budaya.

Sementara SK Gubernur DKI yang tetap berlaku itu membelenggu hak
warga atas kepemilikan tanah. Soalnya, warga tidak bisa secara
optimal memanfaatkan tanah milik mereka karena berbenturan dengan
aturan-aturan yang berkaitan dengan penetapan kawasan itu sebagai
kawasan cagar budaya.

Condet menjadi kawasan cagar budaya tahun 1974 pada zaman Gubernur
Ali Sadikin. Daerah cagar budaya itu mencakup lahan seluas 18.228
hektar yang meliputi Kelurahan Batu Ampar, Kelurahan Bale Kambang,
dan Kelurahan Kampung Tengah.
Pada tahun 1986, Pemprov DKI Jakarta melarang mutasi tanah, tanaman,
dan tata guna tanah di Condet.
Penulis: Ima

Warga Condet Terganjal Status Cagar

Batu Ampar, Warta Kota
Warga Condet di Kelurahan Batu Ampar di Kecamatan Kramat Jati meminta status cagar buah dan budaya ditinjau ulang karena dianggap menghalangi pembangunan. Padahal, pertumbuhan penduduk dan permukiman sudah pesat.
"Masalah ini memang dilematis, di satu sisi ada peraturan yang harus ditaati, tapi di sisi lain ada kebutuhan masyarakat yang mendesak. Coba saja, warga yang punya tanah 100 meter persegi, tapi cuma bisa membangun rumah 20 persennya saja, ini jelas nggak bisa," tutur Lurah Batu Ampar, Rosyid Achmad, Selasa (10/6).


"Sebenarnya, kami pernah usul ke DKI kawasan cagar ini ditinjau kembali, tetapi sampai sekarang belum ada realisasinya," tutur Rosyid lagi.
Berdasarkan SK Gubernur No D.IV-1V-115/e/3/1974, kawasan ini ditetapkan sebagai wilayah cagar buah-buahan dan budaya Condet. Wilayah cagar ini mencakup tiga kelurahan di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. Yakni Kelurahan Batu Ampar, Bale Kambang, dan Kampung Dukuh.
SK yang dikeluarkan oleh Gubernur Ali Sadikin itu menetapkan pembangunan Condet seluas 18.000 ha harus dibatasi. Misalnya, dengan menetapkan aturan koefisien dasar bangunan (KDB) hanya 20 persen dari luas tanah. Artinya, lahan yang terbangun maksimal hanya 20 persen.
Namun, peraturan itu tidak bisa diterapkan lagi di Condet, khususnya Batu Ampar. Sebab, permukiman berkembang pesat dengan pertumbuhan penduduk tinggi karena santernya arus pendatang. Wilayah Batu Ampar seluas 255,025 hektar yang sekarang dihuni 33.084 jiwa dalam tiga tahun terakhir terjadi pertambahan penduduk 308 jiwa.
SK ini juga membuat warga kesulitan mendapatkan sertifikat izin mendirikan bangunan (IMB). "Warga kami memang kesulitan membuat IMB. Kalau kita punya tanah 500 m2 dan kita hanya membangun seluas 100 m2, barulah warga bisa mendapatkan IMB. Pemilik IMB di kelurahan ini paling cuma 10 persen dari 7.000 bangunan yang ada di Batu Ampar," kata Rosyid.

Meski terbelit aturan yang dikeluarkan sejak tahun 1974, Batu Ampar kini terpilih menjadi wakil Jaktim dalam pemilihan kelurahan terbaik tingkat provinsi. "Kelurahan ini masih mampu menjaga tradisi gotong royong dan bisa mengumpulkan PAD (pendapatan asli daerah) tertinggi dari PBB (pajak bumi dan bangunan)," tutur Walikota Jakarta Timur, Koesnan A Halim.
Realisasi PBB yang berhasil diperoleh Batu mencapai 91,05 persen atau Rp 737 juta. Selain itu, Batu Ampar juga mampu membangun wilayah dengan swadana masyarakat sebesar Rp 7,2 miliar. Swadana masyarakat itu untuk membangun dan perbaikan berbagai fasilitas umum, seperti perbaikan jalan dan pembangunan mushola. (tan)

Jokes: Warisan

Engkon Caim umurnye ude 80 taon, asmanye kumat mulu, badan udeh tinggal tulang doang.

Udeh jalan 2 minggu, Engkong Caim diinpus di rumah sakit. Napasnye udah tinggal senen kemis pake selang oxigen. Anak mantunye nungguin gantian siang malem. Pas malem jum'at Engkong Caim ngedrop lagi, mukenye pucet, badannye dingin,matenye sipit ame napasnye tinggal atu dua. Si Nasir, anaknye semate wayang, ngirain babenye udeh waktunye koit. Ame siNasir, dipanggil deh ustad kampung situ namenye Ustad Bokir.

Begitu liatEngkong caim udeh diem aje, Bokir langsung baca-bacain macem-macem doa. Eh tau-tau Engkong Caim megap-megap ame kejang-kejang, bikin panik orang. Pake bahase isyarat, Engkong Caim tangannye niruin orang nulis."Eh Nasir, Lu liat tuh tangan babe lu, daripade bengong, kasih bolpen kek babe lu, kayaknye babe lu pengen nulis surat wasiat tuh" katenye Bokir.Nasir langsung ngibrit nyari kertas ame bolpen buat babenye, kali aje dapet warisan tanah di Condet pan lumayan.

Pake sisa tenaganye, Engkong Caim nulis dikertas ampe' gemeter, abis gitu kertasnye dikasiin ke Bokir. Ame Bokir, surat wasiatnye langsung dikantongin. "Entar aje bacenye, kagak enak baca surat wasiat sekarang, pan babe lu belon koit" katenye Bokir ngebisikin Nasir. Akhirnye Engkong Caim jadi koit dah. Inna Lillahi.

Orang sekampung pade nangisin, soalnye Engkon Caim biarin galak tapi baek ame tetangge. Pas sukuran tujuh arinye Engkon Caim, Bokir diundang lagi ame Nasir buat ngebacain doa lagi. Abis bacain doa, Bokir baru inget kalo die dititipin surat wasiat ame almarhum Engkong Caim. Untungnye, Bokir make baju taqwa nyang minggu kemaren dipake waktu Engkong Caim koit, pas dirogoh, surat wasiatnye masih ade dikantongnye.

"Sodare-sodare sekalian, ade surat wasiat titipannye Engkon nyang belon sempet ane baca. Kalo kite inget masa idupnye Engkong, kayaknye sih isinye nasehat buat kite semue. Nyok kite baca bareng-bareng suratnye ye" kate Bokir.

Begitu abis ngebuka lipetan surat wasiatnye, tau-tau GUBRAK !!! Bokir ngejeblak jatoh pingsan. Pas dibaca ame Nasir, ternyate isi suratnye cuma begini.

"HEH Bokir !!!! Lu bedirinye sonoan dikit, jangan nginjek selang oxigen gua!!!!!"