Monday, March 14, 2005

Dikepung mal

Itulah "surga" yang dilihat Bang Ali ketika menetapkan Condet sebagai cagar budaya tahun 1976 silam. Kebijakan itu lantas ditindaklanjuti gubernur berikutnya, dengan menelurkan kebijakan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) 80% bagi kawasan Condet di pertengahan 1980-an. Berdasarkan KDB, orang Condet yang punya tanah 100 m2 hanya boleh membangun rumah seluas 20 m2. Sisanya, 80 m2 (80%) jatah air. Aturan ini dibikin, katanya lantaran Condet mau dilestarikan sebagai daerah resapan air.
Ironisnya, justru aturan-aturan "hebat" itu yang belakangan hari merampas "surga" Condet. Salak dan duku yang sejak baheula menjadi trade mark Condet, tak lagi tersaji di kios-kios buah. Jumlah petaninya tak lagi signifikan, seiring makin sempitnya lahan. Monyet dan berbagai burung langka pun ikut lenyap. Eksploitasi besar-besaran terhadap binatangbinatang itu, plus berkurangnya pohon tempat mereka bersarang, membuat acara bangun pagi orang Condet tak lagi dimarakkan suara burung.
Tak cukup mengancam maskot buah-buahan dan hewan, Condet sekarang juga makin kehilangan daerah resapan airnya. Kebijakan KDB 80% dianggap sebagai angin lalu. Cobalah berkeliling kelurahan Batuampar, Balekambang, atau Kampungtengah. Nyaris tak ada bangunan yang menaati aturan Pemda. Melihat Condet kini, tak beda melihat kawasan lain di Jakarta. Penuh bangunan beton nan bergaya, mulai model Spanyol hingga Mediterania.
Bagaimana dengan pelestarian budaya Betawi? Ah, lebih parah lagi. Penelitian Dinas Kebudayaan DKI menunjukkan, tahun 1991 Condet cuma menyisakan tujuh rumah tradisional Betawi. Tahun 2004 tentu lebih parah. "Mungkin tinggal 1% dari jumlah rumah di sini," aku Kuswara, sekretaris kantor kelurahan Balekambang. Padahal, Balekambang termasuk wilayah yang memiliki komposisi penduduk paling "konservatif." Dari 19.000-an warga, "hanya" sekitar 30% yang bukan orang Betawi.
Rumah tradisional yang didatangi Intisari, milik H. Mughni di Jln. Pangeran, Balekambang, kondisinya sangat mengenaskan. Ornamen lisplangnya sudah dimakan rayap. Pagar beranda bercampur tembok. "Terpaksa diterali juga, habis kita pernah kecolongan lampu antik," jelas Khalil, suami cucu H. Mughni. Khalil tampak gusar karena janji bantuan renovasi yang didengungkan Pemda belum juga terlaksana. "Tapi kita akan sekuat tenaga mempertahankan rumah ini, dengan atau tanpa bantuan," ujar Khalil.

Sumber: Intisari Online, Juni 2004

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Betul! ane setuju sm ente...ane yang putra condet asli ngerase condet sekarang sama spt daerah2 lainnya, hampir disetiap pinggir jalan berdiri minimarket2. Kemana ciri khas condet yang dijadikan cagar budaya..... ?

10:05 AM  

Post a Comment

<< Home