Tuesday, July 19, 2005

Dodol Betawi Bu Mamas

"Dodol Betawi Bu Mamas", begitu yang tertera di label dodol buatan Masitoh (50), nama asli Bu Mamas. Label itu, menurut Bu Mamas, sungguh telah memberikan berkah
bagi kehidupannya.

Pernah suatu saat cetakan label itu habis sehingga terpaksa dodol dijual tanpa label. Padahal, sang pemesan telanjur memesan banyak. "Pemesannya telepon mau mbalikin dodol yang sudah dipesan gara-gara enggak ada labelnya. Dia khawatir jangan-jangan dodol itu bukan bikinan Bu Mamas," tutur Bu Mamas ketika berbincang dengan Kompas di warungnya di Jalan Batu Ampar I RT 13 RW 04 Condet, Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu (27/4).

Tidak hanya Bu Mamas yang berjualan dodol Betawi di Condet, namun nama Bu Mamas menurut warga sekitar lebih dikenal ketimbang yang lainnya. Bisa jadi karena label yang ditempel di dodolnya langsung menyebut nama pemiliknya.

Kesuksesan seseorang memang selalu dikaitkan dengan usahanya. Ada orang yang hanya duduk-duduk saja bisa cepat kaya, namun banyak yang harus kerja berpeluh-peluh untuk bisa sukses dan memetik hasil kepayahannya. Sebagai seorang perempuan dan ibu dari enam anak, kerja keras Bu Mamas layak diacungi jempol. Modal pinjaman yang tidak seberapa untuk membuat dodol belasan tahun yang lalu kini telah berbuah. Bu Mamas kini mempunyai tujuh karyawan yang setiap hari membantunya membuat dodol. Bahkan setiap bulan puasa, karyawannya bertambah menjadi 35 orang untuk mengimbangi pesanan dodol yang terus mengalir.

Bu Mamas masih ingat betul ketika pada tahun 1990-an dia masih membantu usaha mertuanya membuat dodol Betawi di Pasar Minggu. Setiap hari dia mengambil dodol dari Pasar Minggu dan dijualnya ke warung-warung sampai ke tanah kelahirannya di Condet. Upahnya sangat minim, sementara penghasilan suaminya tidak bisa diharapkan.
"Saya lalu berterus terang kepada mertua, saya mau bikin usaha sendiri di Condet karena capek mondar-mandir. Saya lalu mendapat pinjaman modal sedikit dan saya gunakan
untuk membuat dodol," kata Bu Mamas.

Bu Mamas pun membeli beras ketan, gula, dan kelapa. Setiap hari pada dini hari dia pergi ke Pasar Kramat Jati untuk menggilingkan beras menjadi tepung, juga memarutkan kelapa. Begitu terus setiap hari hingga bertahun-tahun. Lama-kelamaan, orang mulai menyukai dodol buatan Bu Mamas.
"Pas bulan puasa, saya mulai mendapat pesanan, mulai dari satu kuali, lima kuali, 10 lalu 20, 50, 100, dan saat ini saya sudah mendapat pesanan 500 kuali setiap bulan puasa. Tadinya saya hanya punya satu kuali yang saya pesan dari Cirebon seharga Rp 1,5 juta. Sekarang, saya punya 16 kuali, semuanya terbuat dari tembaga seberat 20 kilo," paparnya.

Satu kuali berisi campuran 10 liter beras ketan, 30-35 geluntung kelapa parut, dan 1,5-2 peti gula merah. Bisa juga dicampur durian atau nangka cempedak untuk menambah
rasa lain. Untuk membuat dodol yang pulen dan enak, dibutuhkan waktu sampai tujuh jam. "Dodol harus dimasak di atas kompor kayu karena dibutuhkan panas tinggi.
Kalau di atas kompor gas, dodol pasti tidak enak," ujar Bu Mamas. Untuk kebutuhan kayu bakar, sudah ada orang yang mengantar ke warungnya setiap hari. Jika bulan
puasa, Bu Mamas membutuhkan tiga puluh pick up kayu bakar. "Makanya, saya sudah nyetok dari sekarang kayunya," ujarnya.

Untuk penjualan sehari-hari, Bu Mamas hanya membuat satu kuali dan dijual ke sejumlah warung serta pelanggan dari berbagai penjuru Jakarta, seperti Bintaro, Slipi,
Cilandak, bahkan sampai Bandung. Pernah pula ada yang membeli banyak dan dibawa ke Saudi Arabia. Harga setengah kilo dodol Rp 8.000 dan Rp 10.000 untuk yang berasa durian. Jika membeli satu kuali, harga Rp 500.000.

Usaha dodol Bu Mamas terus berkembang. Kini dia sudah mempunyai dua mesin giling tepung dan sebuah mesin parut kelapa yang disimpan di pabriknya. "Jadi, saya tidak
perlu lagi menggilingkan beras ke pasar. Ya baru punya dua itu, usaha saya ya belum besar kok," ujarnya merendah.

Hanya dengan usaha dodol, Bu Mamas bisa menyekolahkan enam anaknya hingga lulus SMA. Bukannya tidak mau menyekolahkan anak hingga sarjana, Bu Mamas menyerahkan keputusan kepada anak-anaknya. "Orang Betawi ini, otaknya enggak mampu sekolah tinggi," katanya.

Meski demikian, Bu Mamas ingin anak-anaknya sukses dalam kehidupan. "Saya masih mempunyai keinginan membikinkan anak-anak saya toko satu-satu sehingga mereka bisa
mengembangkan diri," tandasnya. Harapan yang mengharukan dari seorang ibu untuk anak-anaknya. (susi IVVaty)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home