Sejarah Asal Mula Condet
copy paste dari Sabda LeQom http://sabdaleqom.blogspot.com/2008/07/sejarah-condet.html?zx=8af58a9cd8a07cf
Sejarah Asal Mula Condet
Menurut Ridwan Saidi, daerah Condet merupakan tempat di mana negara Salaknegara berada. Salakanegara adalah kerajaan pertama yang berdiri di tanah Jawa pada tahun 130 Masehi. Bahkan jika ditengok kebelakang, berdasarkan temuan arkeologis, daerah Condet telah dihuni manusia sejak jaman Neolitikhum (3000-3500 tahun lalu). Ridwan kemudian mengaitkan dengan nama-nama bermakna sejarah di Condet seperti Batu Ampar yang berarti batu tempat meletakan sesaji dan Bale Kambang yang merupakan pesanggrahan para raja jaman dulu. Ada juga beberapa pendapat mengenai asal mula nama buah salak, konon nama itu juga berasal dari kata Salaknegara.[1]
Lebih lanjut Ridwan Saidi mengatakan bahwa Jakarta ini sudah dihuni dan didatangi oleh masyarakat jauh sebelum kerajaan Tarumanegara berdiri yaitu pada abad ke-5 Masehi.[2]
Untuk daerah Condet sendiri, Ridwan Saidi memiliki kesimpulan bahwa daerah ini berasal dari kata Ci Ondet. Ci berarti air atau kali seperti nama kali lain, Ciliwung, Citarum, Cisadane dan sebagainya. Sementara Ondet atau Odeh adalah nama pohon sejenis buni. Pada masa dulu di sepanjang aliran kali Ciliwung yang lewat kesana banyak ditemukan pohon Ondet, sehingga disebut Condet.[3]
Namun walau pun demikian, ada beberapa catatan tertulis penting yang berkaitan dengan daerah yang dahulu dikenal sebagai penghasil salak ini. Data tertulis pertama yang menyinggung Condet adalah catatan perjalanan Abraham van Riebeek, yang pada waktu itu menjabat sebagai direktur jenderal VOC (sebelum menjadi gubernur jenderal). Untuk menempuh ke kantor pusat kegiatan VOC, pada tanggal 24 September 1709, Abraham van Riebeek beserta rombongannya harus berjalan kaki melewati anak sungai Ci Ondet. Jarak antara tempat tinggal Abraham van Riebeek-kantor pusat VOC mencapai 15 km.[4]
Keterangan kedua terdapat dalam surat wasiat Pangeran Purbaya — salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Sebelum dibuang oleh Belanda pada April 1716, pangeran menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau di Condet kepada anak-anak dan istrinya yang ditinggalkan.[5]
Keterangan ketiga, adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh pimpinan Kompeni di Batavia pada tanggal 8 Juni 1753. surat keputusan ini berisikan maklumat tentang penjualan tanah di daerah Condet seluas 816 morgen (52.530 ha) yang pada waktu itu dibeli dengan harga 800 ringgit kepada Frederik Willem Freijer. Daerah Condet sendiri berada pada tanah yang dijual tersebut, yang kemudian dimiliki oleh Frederik Willem Freijer seorang pengusaha swasta Belanda. Kawasan ini pun pada akhirnya dikenal sebagai bagian dari tanah partikulir Tandjoeng Oost (Tanjung Timur), atau Groeneveld.[6]
Walau pun demikian, tidak ada data pasti sejak kapan atau bagaimana ceritanya Condet menjadi pemukiman orang Betawi. Namun daerah ini menyimpan sejarah menarik, salah satunya kisah Haji Entong Gendut. Haji Entong Gendut adalah Alim Ulama sekaligus pendekar yang disegani di Condet. Menurut Ran Ramelan, Haji Entong Gendut marah atas kesewenang-wenangan Kompeni dalam memungut pajak atau blasting kepada rakyat Condet. [7]
Akhirnya, pada 5 April 1916 Haji Entong Gendut memimpin pemuda-pemuda Condet menyerbu sebuah Gedung bernama Villa Nova atau Groeneveld milik tuan tanah Belanda. Setelah berhasil memberi pelajaran kepada Kompeni, dimulailah babak heroik perlawanan masyarakat Condet pimpinan Haji Entong Gendut versus Kompeni. Menurut cerita, Haji Entong Gendut akhirnya tewas ditembak Kompeni lalu mayatnya dibuang ke laut. [8]
Gedung Villa Nova atau Groeneveld yang diserang oleh Haji Entong Gendut beserta pemuda Condet itu adalah gedung satu-satunya dan terbesar di daerah Condet ketika itu. Keberadaan gedung tersebut membawa ciri khas bagi daerah tersebut sehingga banyak masyarakat pada waktu itu memberi nama daerah tersebut dengan julukan sebagai Kampung Gedong. Dan penamaan ini masih bertahan hingga sekarang, terbukti dengan adanya kampung Gedong di wilayah Condet.Mengenai sejarah gedung Villa Nova atau Groeneveld yang menjadi asal mula terbentukya kampung Gedong memiliki kisahnya tersendiri. Gedung ini dibangun oleh Vincent Riemsdijk, anggota Dewan Hindia, sebagai perkebunan dan sekaligus peristirahatan. Setelah kematiannya, putranya Daniel van Riemsdijk, seorang petani andal, benar-benar mengurus perkebunan Tanjung Timur dan mengelolanya dengan baik. Pada waktu itu, 6.000 ekor sapi digembalakan di perkebunan ini, tempat yang sekarang berdiri gedung-gedung megah dan jalan raya dari Tanjung Timur ke Terminal Kampung Rambutan.[9]
Di gedung ini pada 1749 pernah berlangsung pertemuan antara Gubernur Jenderal Von Imhoff dan Ratu Syarifah Fatimah, wali sultan Banten. Syarifah, wanita terdidik dan cerdas, pada 1720 menjadi istri Pangeran Mahkota Banten, Zainul Arifin. Ia sangat berpengaruh terhadap suaminya ketika menjadi sultan Banten (1733). Tapi, Syarifah sendiri meninggal dengan merana karena dibuang ke Pulau Edam di Kepulauan Seribu, akibat pemberontakan Kyai Tapa (1750). Ia ditangkap akibat ambisinya untuk mengangkat Syarif Abdullah, yang menikah dengan keponakannya, untuk dijadikan pangeran mahkota Kesultanan Banten.Gedung yang juga dikenal dengan Villa Nova itu telah beberapa kali berganti pemilik. Menurut Ran Ramelan tiap penggantian tuan tanah ini, diadakan peraturan baru yang memberatkan rakyat Condet. Terhadap tiap pemuda Condet yang telah menginjak dewasa dikeluarkan kompenian atau pajak kepala sebesar 25 sen (nilainya kira-kira 10 liter beras). Karena banyak petani yang tidak sanggup membayar blasting (pajak) yang sangat memberatkan itu, tuan tanah sering membawa petani yang tak sanggup membayar ke landraad (pengadilan). Dan tuan tanah di Condet sering mengeksploitasi masyarakat sehingga akibatnya banyak petani yang bangkrut, rumahnya dirusak, atau tak jarang yang dibakar. Penduduk yang belum membayar blasting hasil sawah dan kebunnya tidak boleh dipanen.[10]
Tuan tanah pertama dari kawasan itu adalah Pieter van de Velde asal Amersfoort, yang pada pertengahan abad ke-18 berhasil memupuk kekayaan berkat berbagai kedudukannya yang selalu menguntungkan. Setelah peristiwa pemberontakan Cina pada tahun 1740, dia berhasil mengusai tanah – tanah Kapten Ni Hu-Kong, yang terletak di selatan Meester Cornelis yang sekarang dikenal sebagai Jatinegara sebelah timur sungai Ciliwung. Kemudian di tambah dengan tanah – tanah lainnya yang di belinya sekitar tahun 1750, maka terbentuklah Tanah Partikelir Tanjoeng Oost. Di situ ia membangun gedung tersebut selesai dibangun.Pemilik kedua adalah Adrian Jubels. Setelah ia meninggal pada tahun 1763, Tanah tanjung Oost dibeli oleh Jacobus Johannes Craan, yang terkenal dengan seleranya yang tinggi. Pemilik baru itu mendandani gedung peristirahatan dengan dekorasi berlanggam Lodewijk XV, ditambah dengan hiasan – hiasan yang bersuasana Cina. Sampai terbakar pada tahun 1985 sebagian dari ukiran – ukiran penghias gedung itu masih dapat disaksikan.Setelah Craan meninggal, Tanjoeng Oost dibeli oleh menantunya Willem Vincent Helvetius van Riemsdjik, putra Gubernur Jendral Jeremies van Riemsdjik (1775 – 1777). Sampai pecahnya Perang Dunia Kedua, gedung Groeneveld dikuasai turun- temurun oleh para ahli warisnya, keturunan Vincent Helvetius van Riemsdjik. Willem Vincent Helvetius sendiri sejak muda sudah menduduki jabatan yang menguntungkan, antara lain pada usia 17 tahun sudah menjabat sebagai administrator Pulau Onrust, jabatan yang menjadi incaran banyak orang, karena konon sangat “basah” banyak memberi kesempatan untuk memupuk kekayaan. Kedudukan ayahnya sebagai gubernur Jenderal dimanfaatkan dengan sangat baik, sehingga kekayaannya makin berkembang. Pada tahun sembilanpuluhan abad ke-18, tanah – tanah miliknya tersebar antara lain di Tanahabang, Cibinong, Cimanggis, Ciampea, Cibungbulan, Sadeng, dan dengan sendirinya Tandjoeng Oost atau Tanjung Timur.Tandjoeng Oost atau Tanjung Timur mengalami perkembangan yang sangat pesat pada waktu dikuasai oleh Daniel Cornelius Helvetius, yang berusaha menggalakkan pertanian dan peternakan. Setelah ia meninggal pada tahun 1860, Groeneveld menjadi milik putrinya yang bernama, Dina Cornelia, yang menikah dengan Tjalling Ament, asal Kota Dokkum, Belanda Utara. Ament melanjutkan usaha mertuanya, meningkatkan usaha pertanian dan peternakan. Pada pertengahan abad ke-19, di kawasan TanjungTimur dipelihara lebih dari 6000 ekor sapi. Produksi susunya sangat terkenal di Batavia. Sampai tahun 1942 Groeneveld turun – temurun dihuni keturunan Van Riemsdjik, dan kawasan itu sampai sekarang disebut Kampung Gedong.[11]
Sampai sekarang suku Betawi merupakan salah satu suku yang berada di Indonesia, dan Betawi Condet hanyalah bagian terkecil yang tersisa dari keberadaan suku Betawi tersebut. Secara umum suku Betawi merupakan suku-bangsa yang terbentuk dari proses asimilasi antara penduduk pribumi dengan berbagai unsur dari luar yang bercampur dalam waktu yang lama. Lance Castle menggambarkan kondisi ini dengan istilah melting pot.Menurut Melalatoa, keberadaan suku Betawi berikut dengan Betawi Condetnya dapat dilihat dari pengakuannya dan budaya-budaya tertentu, misalnya bahasa, dialek, kesenian, pakaian, makanan, sistem keyakinan dan lain-lain. Selain itu adanya pandangan-pandangan yang dapat melahirkan identitas tertentu sebagai suatu kelompok yang disebut sebagai orang Betawi-Condet.[12]
Dalam bidang kesenian, orang Betawi-Condet memiliki bentuk-bentuk kesenian yang khas, yang di dalamnya terkandung unsur-unsur dari berbagai kesenian lain dengan melalui proses akulturasi. Misalnya, seni lenong yang lagu-lagunya terdiri dari campuran lagu Cina dengan Betawi. Demikian juga dalam berbahasa. Bahasa yang digunakan oleh orang Betawi-Condet merupakan bahasa yang sudah bercamputr dengan bahasa lainnya, baik itu secara dialek atau pun kosa kata. Bahasa-bahasa yang banyak berpengaruh terhadap bahasa Betawi-Condet diantaranya adalah bahasa Sunda, Jawa, Melayu, Cina.Yang lebih penting dari semua itu adalah pandangan hidup yang digunakan oleh orang Betawi-Condet. Masyarakat Betawi-Condet memiliki sistem budaya denga sejumlah nilai dan norma budaya yang menjadi acuan dalam berbagai tindakannya, yaitu:1. Sikap toleransi yang diwujudkan dengan sikap nyata berupa keramahtamahan.2. Sederhana, tidak berlebihan dan dengan sabar menerima keadaan serta kemudahan yang diberikan lingkungannya.3. Memiliki solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya4. Mengamalkan asas mufakat untuk berbagai proses pengambilan keputusan dalam lingkungan kehidupan kerabat dan lingkungan sosial yang lebih luas.[13]
A. Condet Sebagai Cagar Budaya
Lantas sejak kapan Condet ditetapkan sebagai daerah cagar budaya Betawi? Penetapan Condet sebagai salah satu cagar budaya Betawi pertama kali dilakukan oleh Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1974, dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur No D. IV-1511/e/3/74 tanggal 30 April 1974 tentang Penetapan Condet sebagai Pengembangan Kawasan Budaya Betawi. Kemudian disusul SK Gubernur No D.I-7903/a/30/75 tanggal 18 Desember 1975, gubernur kembali menetapkan Condet sebagai Daerah Buah-buahan. Keputusan itu berisi penetapan kawasan condet seluas 18.228 hektar sebagai Cagar Budaya Betawi.Alasan dijadikanya Condet sebagai cagar budaya Betawi di Jakarta berawal dari adanya keinginan Pemerintah DKI Jakarta untuk mempertahankan salah satu kantong pertanian di Jakarta Timur.[14]
Untuk menguatkan komitmen pihak pemerintah juga mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain :1. .Penetapan wilayah Condet yang dikembangkan secara terbatas, mengingat sebagai daerah penghasil buah-buahan.2. Penetapan mempertahankan wilayah Condet sebagai daerah pertanian buah-buahan.3. Pengaturan penebangan pohon di wilayah Condet harus seminimal mungkin, dan harus minta izin sebelumnya.4. Pelarangan untuk melakukan mutasi tanah, merubah tata guna tanah termasuk memusnahkan tanaman khas Condet yaitu salak, duku dan melinjo.5. Pelarangan untuk mendirikan bangunan yang melebihi ketentuan koefisien dasar bangunan (RDB) sebesar 20 %.6. Penetapan bahwa tanaman khas Condet seperti duren Sitokong dan duku serta Salak sebagai barang langka yang harus di jaga dari kepunahan.Selain itu penetapan Condet sebagai salah satu kawasan cagar budaya Betawi di Jakarta juga berlandaskan pada adanya peraturan dari Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang menyebutkan dalam salah satu pasalnya bahwa warisan budaya merupakan komponen lingkungan yang ingin dipertahankan, dijaga dan dilestarikan keberadaannya di samping warisan alam. Yang lebih menguatkan dari semua itu adalah adanya rekomendasi dari badan dunia yang banyak melakukan rekonstruksi pada warisan-warisan budaya dunia yaitu Unesco pada tahun 1975.
Dalam rekomendasinya, Unesco meminta kepada pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah guna melindungi kota atau desa yang memiliki nilai-nilai sejarah tinggi termasuk lingkungannya untuk diintegrasikan dalam kehidupan masyarakat sekarang.Cagar budaya Condet yang dilindungi terdiri dari tiga kelurahan yaitu kelurahan Batu Ampar seluas 255, 025 hektar yang terdiri dari 4 RW dan 39 RT, kelurahan Balekambang seluas 161, 80 hektar yang terdiri dari 3 RW dan 20 RT, dan kelurahan Kampung Tengah seluas 214, 8 hektar yang terdiri dari 5 RW dan 29 RT. Batas-batas wilayah cagar Condet itu sendiri, di sebelah utara berbatasan dengan kelurahan Cililitan, di sebelah timur sebagian besar berbatasan dengan kelurahan Rambutan, sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan Gedong, dan sebelah barat dipisahkan dengan kelurahan Pasar Minggu oleh kali Ciliwung. Tiga kelurahan dalam kawasan Cagar Budaya Betawi-Condet tersebut sebagian besar didominasi oleh adanya lahan atau perkebunan buah-buahan dan termasuk daerah jalur hijau.[15]
Dalam sejarah Betawi, Condet memiliki sejarah yang sangat istimewa. Menurut sejarah, sejak seribu tahun yang lalu Condet sudah banyak dihuni oleh masyarakat yang datang dari berbagai wilayah. Sejarah juga mencatat bahwa wilayah ini pernah menjadi markas bagi prajurit Mataram yang dikirim Sultan Agung untuk menggempur Batavia pada tahun 1628-1829. Ketika serangan tersebut gagal, ke sana pula para prajurit itu bersembunyi dan kemudian beranak pinak. Kampung Balekambang pada waktu itu juga dinyatakan sebagai pemukiman mereka.[16]
Pada tahun 1749 pendatang dari Makasar datang memasuki wilayah ini sebagai buruh perkebunan gula milik tuan tanah Belanda. Mereka bermukim di wilayah kampung Makasar yang kemudian kita kenal sebagai Kelurahan Batuampar. Kemudian satu wilayah yang disebut Kelurahan Karang Tengah juga merupakan pengembangan dari pemukiman pendatang dari Makasar tersebut.[17]
Kawasan Condet juga pernah berada di bawah kekuasaan Keluarga Ament, tuan tanah bangsa Belanda yang pertama kali mengembangkan kebun buah-buahan sampai dengan tahun 1949, yang kemudian menyerahkan kepada para petani di wilayah ini. Sejak saat itu, kebun buah-buahan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Condet dan hingga ke generasi-generasi berikutnya, mereka juga kemudian dikenal sebagai petani buah-buahan.Berdasar pada kenyataan sejarah ini, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin terdorong untuk kembali melestarikan wilayah Condet. Dengan harapan Condet tidak saja menjadi lokasi pelestarian suku Betawi berikut dengan seni tradisinya, tetapi juga bisa menjadi daerah sentra buah-buahan. Tekad Ali Sadikin untuk melestarikan budaya Betawi diwujudkan dengan berbagai program-program nyata yan diharapkan bisa mendukung.
Berbagai sosialisasi mengenai pentingnya melestarikan tradisi budaya, menjaga kawasan hijau di Jakarta, sampai pada adanya perlindungan pada sejumlah bangunan asli Betawi pun dilakukan.Pada masa kepemimpinan Ali Sadikin ini, kawasan Condet termasuk daerah maju, ada anggaran untuk melestarikan budaya Betawi di Condet. Setiap rumah Betawi diberi dana rehabilitasi dan pemeliharaan, terutama lantai dasar sebesar Rp 30.000 per bulan. Namun, itu hanya berlangsung singkat.Sepuluh tahun kemudian, seiring dengan adanya pergantian pemerintahan Ali Sadikin yang digantikan oleh Gubernur Soeprapto muncul lagi Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 323 Tahun 1985 tentang Penyusunan Konsep Pelaksanaan Daerah Condet sebagai Daerah Buah-buahan. Setelah itu, terbit lagi Instruksi Gubernur No 19/1986 tentang Status Quo Pengembangan Kawasan Condet.
Namun, pengembangan itu berjalan lamban. Bahkan, entitas budaya Betawi mulai memudar. Pada periode ini wacana tentang revitalisasi cagar budaya Betawi di Condet pun tidak lebih hanya sekedar slogan pemerintah provinsi semata. Ini terbukti dengan semakin tidak adanya kejelasan kontiunitas kebijakan sebelumnya yang memberikan dana rehabilitasi dan pemeliharaan kepada warga Condet. Hal ini diperparah lagi dengan tidak adanya kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta mengenai pentingnya mempertahankan situs cagar budaya.[18]
Sekitar tahun 2001, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali memperhatikan perkembangan budaya Betawi, sebagai budaya asli kota Jakarta. Namun sayang perhatian itu tidak ditujukan untuk merevitalisasi budaya Betawi di kawasan Condet, melainkan menetapkan Kelurahan Srengsengsawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan sebagai Perkampungan Budaya Betawi. Kawasan seluas 289 hektar itu ditetapkan melalui Perda No 3/2005 tentang penetapan perkampungan budaya Betawi. Hingga saat ini perkampungan budaya Betawi itu masih menjadi perhatian Pemprov DKI Jakarta.[19]
Perlindungan Cagar Budaya Betawi-Condet hanya memiliki kekuatan di tingkat perda, tetapi pemerintah provinsi sama sekali tidak memiliki kekuatan hukum untuk melarang warga menjual tanah milik mereka. Sehingga seiring jaman, pertumbuhan kawasan Condet sulit dikendalikan. Rumah-rumah modern, kios, bengkel,warung, restoran, toko, hingga mini market tumbuh berjamur. Kebun dan kawasan hijau berkurang drastis. Akibatnya, tidak terdengar lagi Condet sebagai penghasil duku dan salak.Kawasan Condet hampir tidak berbeda dengan pemukiman-pemukiman lain. Padat dan hiruk pikuk. Penduduknya pun lebih banyak pendatang ketimbang orang Betawi asli. Sebetulnya kritisnya kawasan ini sudah dideteksi pemprov DKI sejak bertahun-tahun lalu. Sesuai Peraturan Daerah No. 7 tahun 1991,setiap rumah yang dibangun dikawasan khusus seperti Condet, maka bentuk bangunannya harus sesuai dengan ciri khas kawasan. Berhubung sudah terlanjur dan tidak mungkin membuat Cagar Budaya di lokasi yang sama,akhirnya Cagar Budaya Betawi dipindah ke Setu Babakan di Srengseng Sawah, Jagakarsa.Seiring dengan waktu, makin banyak pendatang masuk ke Condet, termasuk warga keturunan Arab yang hijrah besar-besaran dari daerah Pekojan, Tambora, Jakarta Barat.
Alwi Shahab, penulis dan pemerhati sejarah yang juga keturunan Arab, pernah mengatakan, pada tahun 1950-an sekitar 95 persen penduduk Pekojan masih keturunan Arab. Mereka lalu berpindah tempat ke Condet, juga Jatinegara dan Tanah Abang. Kini, di Condet bahkan menjamur tempat penampungan TKI yang dikelola warga keturunan Arab.Jumlah penduduk Kelurahan Batu Ampar saat ini mencapai 33.582 orang, Kampung Tengah lebih dari 25.000 jiwa, sedangkan penduduk Bale Kambang berjumlah 19.653 jiwa. Bandingkan dengan jumlah penduduk Bale Kambang pada tahun 1976 yang hanya 4.564 jiwa , Batu Ampar 9.262 jiwa, dan Kampung Tengah 8.162 jiwa.Pada awalnya banyak masyarakat yang optimistis Condet bakal menjadi trade mark Jakarta. Berbatasan dengan bekas terminal bus Cililitan dan Pasar Minggu, Condet salah satu kawasan yang 90% penduduknya asli Betawi. Condet kaya akan kebun berpohon rindang. Udaranya bersih, penuh kicauan burung kakak tua jambul putih, bayan, nuri, dan banyak lagi. Monyet melompat dari pohon ke pohon. Rata-rata orang Condet bertanam buah-buahan, terutama duku dan salak.Pohon duku di Condet banyak yang sudah berumur puluhan tahun. Saat musim duku tiba, hampir saban malam kaum lelakinya meronda di atas pohon, yang punya dahan liat dan kuat. Mereka berjaga dari codot dan kalong, yang konon hanya takut pada pohon yang "dihinggapi manusia".
Condet juga penghasil pisang (terkenal besar dan manis), durian, dan melinjo yang diolah jadi emping. Kabarnya, emping Condet sangat gurih. Kalau di tempat lain, sebelum digecek, melinjo direbus lebih dahulu. Tetapi do di Condet, melinjo tidak direbus, melainkan dinyanya alias digoreng.Kekhasan Condet juga terlihat dari bahasa Betawi yang mereka gunakan, adat istiadat yang banyak mengambil nilai-nilai Islam, serta bentuk rumah mereka. Rumah asli Condet berlantai tanah, berdinding kayu. Jendelanya dinamai jendela bujang (bertirai batang bambu). Disebut jendela bujang, karena kerap dimanfaatkan bujang untuk mengintip calon istrinya yang dipingit di balik beranda. Serambi muka terbuka, hanya dibatasi pagar kayu setinggi pinggang serta ornamen khas di lisplang. Di belakang beranda ada pangkeng atau kamar tidur.Di antara tiga kelurahan tadi, Balekambang yang paling kuat memegang tradisi. Mereka sangat fanatik dengan sekolah agama. Untuk mendapat ilmu yang lebih tinggi, tak jarang para pemudanya bertualang ke Suriah atau Mesir. Mereka lebih fasih memainkan gambus dan qasidah. Lenong dan gambang keromong masih dianggap sebagai punye orang luar. Leluhur Balekambang bahkan beranggapan, daerah mereka "terlarang" buat orang asing. Pendatang yang hendak berniaga, harus siap-siap bangkrut.
B. Cagar Budaya Tinggal Cerita
Penetapan Condet sebagai salah satu cagar budaya Betawi di Jakarta oleh Pemerintah Provinsi DKI, ternyata pada akhirnya memberikan implikasi yang dirasa kurang menguntungkan bagi masyarakat Condet sendiri. Warga Condet di Kelurahan Batu Ampar di Kecamatan Kramat Jati meminta status cagar buah dan budaya ditinjau ulang karena dianggap menghalangi pembangunan. Padahal, pertumbuhan penduduk dan permukiman sudah pesat. Masalah ini memang dilematis, di satu sisi ada peraturan yang harus ditaati, tapi di sisi lain ada kebutuhan masyarakat yang mendesak.[20]
Berdasarkan SK Gubernur No D.IV-1V-115/e/3/1974, kawasan ini ditetapkan sebagai wilayah cagar buah-buahan dan budaya Condet. Wilayah cagar ini mencakup tiga kelurahan di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. Yakni Kelurahan Batu Ampar, Bale Kambang, dan Kampung Dukuh. SK yang dikeluarkan oleh Gubernur Ali Sadikin itu menetapkan pembangunan Condet seluas 18.000 ha harus dibatasi. Misalnya, dengan menetapkan aturan koefisien dasar bangunan (KDB) hanya 20 persen dari luas tanah. Artinya, lahan yang terbangun maksimal hanya 20 persen. Namun, peraturan itu tidak bisa diterapkan lagi di Condet, khususnya Batu Ampar. Sebab, permukiman berkembang pesat dengan pertumbuhan penduduk tinggi karena derasnya arus pendatang.Adanya kenyataan desakan dari warga masyarakat Condet agar pemerintah provinsi DKI Jakarta mencabut SK Gubernur yang menetapkan Condet sebagai daerah cagar budaya Betawi sungguh merupakan ironis. Masyarakat menilai bahwa aturan-aturan itu ternyata merampas kekhasan Condet itu sendiri.[21]
Salak dan duku yang sejak dulu menjadi hasil alam Condet, tak lagi tersaji di kios-kios buah. Jumlah petaninya tak lagi signifikan, seiring makin sempitnya lahan. Monyet dan berbagai burung langka pun ikut lenyap. Eksploitasi besar-besaran terhadap binatang-binatang itu, ditambah semakin berkurangnya pohon tempat mereka bersarang. Selain itu, daerah Condet juga kehilangan daerah resapan airnya. Kebijakan koefisien dasar bangunan (KDB) 80% dianggap sebagai angin lalu.
Melihat Condet kini, tak beda melihat kawasan lain di Jakarta. Penuh bangunan beton nan bergaya, mulai model Spanyol hingga Mediterania.Adalah kesulitan ekonomi yang membikin tak sedikit warga Condet menjual tanah miliknya. Dan, hal ini bukannya tanpa konsekuensi. Kian sempitnya lahan sekaligus membunuh tradisi yang telah mengakar di masyarakat Condet, yakni pemakaman anggota keluarga di kebun milik keluarga. Modernisasi telah membuat peta ekonomi Condet mengalami banyak perubahan, masyarakat Condet yang puluhan tahun dikenal sebagai petani duku dan salak, sedikit yang berpendidikan tinggi harus menyesuaikan dengan perkembangan ibukota yang semakin pesat kemajuannya.Warga Condet jaman dulu tidak cukup familiar dengan kehidupan metropolis. Sementara tak cukup tersedia lahan untuk bertahan sebagai masyarakat agraris. Jalan pintas itu pun datang. Di tengah himpitan ekonomi, warga asli Condet memilih melego tanah warisan. Hengkanglah mereka menyebar di Bekasi hingga Tangerang. Hengkangnya para warga Betawi Condet sekaligus membawa pergi kekayaan kuliner khas Betawi seperti pepes ikan lele, pepes ikan pepe, ikan gabus segar, atau goreng jengkol dengan sambel terasi. [22]
Masyarakat Condet tidak peduli dengan adanya peraturan dari pemerintah provinsi DKI Jakarta yang melarang mereka untuk menjual tanah-tanahnya kepada para pendatang. Desakan kebutuhan ekonomi dan kurannya pendidikan membuat mereka harus tersingkir ke wilayah-wilayah seperti Bekasi, Bogor, Depok dan sebagian ke wilayah Karawang.Oleh sebab itu Pemerintah provinsi DKI Jakarta mengevaluasi penetapan Condet, sebagai kawasan cagar budaya. Keputusan Pemerintah provinsi DKI Jakarta ini pun mendapat dukungan penuh dari warga Condet dan DPRD DKI Jakarta, dengan alasan bahwa kawasan Condet sudah mengalami kegagalan sebagai kawasan cagar budaya.Sementara SK Gubernur DKI yang tetap berlaku itu membelenggu hakwarga atas kepemilikan tanah. Soalnya, warga tidak bisa secaraoptimal memanfaatkan tanah milik mereka karena berbenturan denganaturan-aturan yang berkaitan dengan penetapan kawasan itu sebagaikawasan cagar budaya.Gagal menjadikan Condet sebagai cagar budaya, kini datang usulan baru. Pemprov DKI Jakarta diminta menjadikan Condet sebagai cagar sejarah Betawi. Menjadikan Condet sebagai cagar sejarah, menurut Ridwan Saidi, punya dasar kuat. Hal ini berdasar pada adanya temuan arkeologis pada situs Condet mengindidikasi hunian purba, sedikitnya pada periode 3000 tahun SM.
Toponim di Condet (Ci ondet) seperti Batualam, Batu Ampar, Bale Kambang, Pangeran, Dermaga, mencerminkan kehidupan masyarakat dan kebudayaan masa lampau. Benda-benda itu banyak terdapat di tepian sungai Ciliwung, di daerah Condet dan Kalibata Pejaten, Jakarta Selatan. Benda-benda ini diduga berasal kira-kira 1000 - 1500 SM.Untuk lebih memperkuat usulannya kepada Pemprov DKI Jakarta, Ridwan Saidi mencontohkan batu ampar yang kini menjadi nama jalan dan kelurahan di Condet. Batu ampar yang di Tangerang disebut batu ceper adalah batu yang biasanya berukuran minimal 4 x 6 meter. Di atas batu ini sesajen diletakkan. Sangat mungkin batu ampar di Condet masih ada di suatu tempat di kebun penduduk. Bale Kambang, nama kelurahan di Condet, merupakan pesanggrahan raja-raja. Dapat dipastikan sisa bangunannya sudah musnah, tetapi lokasinya masih dapat diperkirakan. Sedangkan batu alam, juga nama jalan di Condet, dalam tradisi kekuasaan purba, adalah tempat melantik raja baru.
Di samping merupakan permukiman tertua di Jawa, Condet yang penduduknya sangat taat menjalankan syariat agama, pernah dikenal sangat heroik melawan penjajah. Pada 1916, rakyat Condet di bawah pimpinan Haji Tong Gendut mengangkat senjata melawan tuan tanah Belanda yang menguasai Cibeureum, Kranggan, dan Cimanggis, di Kabupaten Bogor. Tempat tinggal tuan tanah itu di depan Jalan Raya Condet sekarang ini, yakni di Kampung Gedong. Rumah tuan tanah ini disebut kongsi, yang kini dipakai untuk Kesatrian Polisi Tanjung Timur. Tong Gendut mengumpulkan para pemuda berjihad fi sabilillah melawan tuan tanah yang selalu memeras penduduk.Tetapi pemberontakan ini dapat digagalkan. Pemberontakan kedua terjadi 1923, tidak menggunakan kekerasan senjata, melainkan dengan melakukan penebangan pohon-pohon besar. Pemberontakan ini berhasil membuat para mandor tuan tanah mundur, karena tidak berani menghadapi massa rakyat.Sejak saat itu, rakyat Condet makin berani melawan Belanda, termasuk menunggak pajak atau blasting. Ini berlangsung hingga tahun 1934, ketika rakyat Condet mengadukan kepada pengadilan mengenai pemerasan yang dilakukan tuan tanah. Rakyat meminta bantuan hukum kepada tokoh-tokoh perjuangan: Mr Sartono, Mr Moh Yamin, Mr Syarifuddin, dan lain-lain. Rakyat Condet akhirnya menang perkara. Tetapi keputusan baru datang setelah pemerintah Federal. Di masa federal ini, Belanda mengambil hati rakyat Condet, dengan menghapuskan tuan tanah.***
Perubahan Sosial dalam Masyarakat Betawi Condet
Perkembangan kota pada umumnya menyebabkan perubahan peruntukan lahan pertanian. Hal ini terjadi sebagai akibat meningkatnya tuntutan kebutuhan fasilitas perumahan, pesatnya pertumbuhan penduduk terutama yang disebabkan oleh urbanisasi, adanya kepentingan pembangunan fungsional lainnya, serta kesempatan pemanfaatan lahan yang rasional. Demikian pula keadaannya dengan kawasan Condet yang terdapat di Jakarta Timur, tidak luput dari pengaruh perkembangan tersebut.Masyarakat Betawi Condet merupakan suatu kesatuan dalam sistem hubungan sosial yang sangat erat serta memiliki mobilitas yang cukup tinggi. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya dalam masyarakat Condet terjadi pengaruh timbal balik yang cukup signifikan dengan lingkungan hidup serta kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya.
Dalam dua dasawarsa terakhir ini kawasan Condet telah mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang cukup pesat sebagai dampak langsung dari proses pembangunan yang berlangsung sejak tahun 1970-an.Pada awalnya banyak masyarakat Condet yang menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan. Tanah yang luas dan subur yang ditumbuhi oleh beraneka macam pepohonan berbuah memberikan hasil panen yang melimpah. Buah-buahan seperti duku, salak,mangga, nangka dan lain-lain adalah pemandangan yang tidak langka di daerah Condet ini.Selain menggantungkan kehidupan di sektor hasil perkebunan, masyarakat Condet juga banyak yang terlibat dalam produksi emping. Terdapat sejumlah home industry. Begitu bergairahnya industri ini berkembang hingga kebutuhan melinjo tidak tercukupi. Sebagian harus didatangkan dari Banten. Emping Condet terkenal gurih. Lebih gurih dari emping keluaran daerah lainnya. Karena, emping melinjo daerah lain sebelum digecek terlebih dulu melinjonya direbut. Sedangkan di Condet orang tidak merebusnya, melainkan digoreng dengan pasir sebelum digecek, sehingga rasanya lebih gurih. Lagi pula emping Condet lebih tipis dari emping keluaran tempat lain. Biasanya warga Condet membikin emping lebar-lebar, digoreng dilipat dua.Sampai saat ini di Jl Condet Raya masih dapat kita jumpai beberapa pedagang emping. Sedangkan salak dan duku Condet sudah sulit ditemui.
Di samping emping, ada satu jenis makanan yang boleh dikata asing ditempat lain dan hanya terdapat di Condet, yakni goreng jengkol yang sangat digemari orang. Condet, yang sampai awal 1990-an masih berudara nyaman, juga dikenal masyarakatnya pandai dalam membuat dan mengelola berbagai jenis kue. Pada hari raya Idul Fitri, misalnya, kita akan dapat menikmati dodol Condet yang warnanya kecoklat-coklatan, gurih dan manis. Rata-rata rakyat Condet pandai membuat dodol, makanan khas Betawi. Di samping dodol, kueh terkenal dari Condet adalah geplak. Dibuat dari tepung beras dan kelapa yang diparut.Gambaran umum lingkungan Condet dewasa ini sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan gambaran di atas. Pertumbuhan dan perkembangan Jakarta yang sangat cepat ikut mengakibatkan pola kehidupan penduduk Betawi Condet, terutama keadaan sosial ekonominya uga berubah. Dari hasil pendataan,[23] masyarakat Betawi Condet yang bekerja di sektor pertanian yaitu 71,1 persen pada tahun 1967, menjadi12,6 persen pada tahun 1980. Jumlah ini semakin mengecil dan hilang pada akhir tahun 1990-an. Banyak penduduk asli yang meninggalkan pekerjaannya sebagai petani buah dan memilih pekerjaan lainnya di luar sektor ini. Mereka terpaksa mengalami kondisi seperti ini, karena adanya kebutuhan.
Perubahan terjadi menunjukkan Condet bukan lagi merupakan daerah pertanian yang masih didominasi oleh kebun buah-buahan, tetapi sudah menjadi suatu kawasan yang tidak banyak berbeda dengan daerah lainnya di dalam kota Jakarta. Yaitu dengan terdapatnya pemukiman yang padat beserta pola etnis penduduk yang beragam yang tidak lagi mnggantungkan kebutuhan hidupnya pada hasil kebunnya, melainkan kebanyakan bekerja di sektor urban.Pilihan pekerjaan yang mereka lakukan antara lain menjadi buruh, bekerja pada sektor jasa yang tersedia, terutama di pusat kota atau menjadi pedagang. Bagi mereka yang masih memiliki lahan perkebunan cukup besar, pada musim panen dmereka kembali menjadi petani. Pada petani buah dengan pemilikan lahan usaha stani yang terbatas, pilihan pekerjaan lain di sektor pertanian ini menjadi suatu hal yang penting. Dalam menghadapi kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, mau tak mau terdorong hasratnya untuk memilih pekerjaan lain di luar sektor usaha tani demi kelangsungan hidup diri dan keluarganya.
Aspek penting berkenaan dengan soal pemilikan lahan usaha tani masyarakat Betawi Condet setempat beserta pengalihan fungsi lahan, adalah masalah pewarisan. Fungsi pewarisan ini telah dilembagakan dalam pranata budaya setempat. Ketentuan laki-laki memperoleh lahan dua bagian sedangkan perempuan memperoleh satu bagian. Perwujudan pelaksanaan pranata sosial budaya mengenai pewarisan terlihat pada distribusi pemilikan dan luas lahan yang dimiliki masyarakt setempat. Sistem pewarisan yang dianut, secara alamiah ikut memberikan tekanan terhadap lahan usaha tani milik penduduk di kawasan Cagar Budaya Betawi Condet ini.
Dengan semakin minimnya areal kepemilikan lahan usaha atani, semakin petani tersebut tidak dapat menggantungkan hidupnya hanya dari lahan buahnya saja.Banyaknya jumlah lahan berpindah tangan ke tangan pendatanng, juga menyebabkan menurunnya jumlah masyarakat asli Betawi Condet yang tinggal di kawasan ini. Pada tahun 1980 yang ada hanya 36% saja dari jumlah seluruh penduduk. Kondisi ini cukup menunjukkan bahwa penduduk asli Betawi Condet pada saat ini sudah bukan merupakan kaum mayoritas di wilayahnya.
Adanya peralihan kepemilikan lahan dan penggunaan lahan di daerah Condet, tidak saja menyebabkan hak ekonomi masyarakat Betawi Condet berkurang tetapi juga menjadikan mereka tidak sumber-sumber ekonomi pasti. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, masyarakat Betawi Condet beralih ke bidang pekerjaan yang tidak lagi mengandalkan pada hasil-hasil olahan lahan mereka. Tetapi mereka sudah beralih ke pekerjaan yang lebih teknis dan industrial.Dahulunya mata pencaharian masyarakat Betawi-Condet bisa dibedakan antara mereka yang berdiam di tengah kota dan mereka yang berada di daerah pinggiran kota. Mereka yang berada di tengah kota menunjukan mata pencaharian yang bervariasi, misalnya sebagai pedagang, pegawai pemerintahan, pegawai swasta, buruh, tukang mebel. Sementara itu mereka yang berdiam diri di daerah pinggiran kota biasanya mempunyai mata pencaharian sebagai petani atau pun perkebunan.[24]
Walau pun masyarakat Betawi Condet sudah tidak memiliki lahan pertanian dan sumber-sumber ekonomi pasti di daerahnya, mereka enggan untuk berpindah ke tempat lainnya. Hal ini berbeda dengan citra yang dimiliki oleh suku lainnya di Indonesia yang suka merantau demi mencari sumber-sumber ekonomi yang pasti dan mapan. Salah satu alasan ketidak sukaan orang Betawi Condet merantau adalah karena faktor ekonomi, mereka berfikir untuk bisa keluar daerahnya maka dibutuhkan biaya. Selain itu, masyarakat Betawi Condet pun terikat oleh adat istiadatnya sendiri. Mereka selalu ingin berkumpul dengan sanak keluarga atau kerabatnya. Kepindahan masyarakat Betawi Condet dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya, bisa terjadi karena disebabkan oleh adanya faktor dari luar. Artinya bukan merupakan kemauan sendiri.Misalnya, kepindahan anggota masyarakat Betawi Condet ke daerah lain dan harus berpisah dengan kerabatnya disebabkan oleh adanya perkawinan dengan suku atau anggota masyarakat di luar masyarakat Betawi Condet. Sangat sedikit atau malah tidak ada masyarakat Betawi Condet yang mau berpindah ke daerah lain karena alasan-alasan pekerjaan, karena mereka lebih senang mengkais rejeki di daerahnya sendiri.
Ketidakinginan warga Condet untuk merantau mencari sumber-sumber kehidupan yang lebih menjanjikan, terkadang membuat citra masyarakat Betawi itu sendiri menjadi negatif. Mereka dianggap sebagai masyarakat pemalas, rendah pendidikan, dan tidak mau maju.Walaupun demikian masyarakat Betawi Condet masih terikat kuat pada tradisionalitas yang berdasarkan pada agama Islam. Ini tercermin dari kesenian yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan, misalnya marhaban dan qasidahan--yaitu seni musik rebana yang digunakan sebagai acara hiburan dalam perkawinan. Demikian juga acara-acara yang berhubungan dengan hari besar Islam seperti Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha atau Mauludan, selalu diperingati dengan meriah. Identifikasi antara Islam dengan Betawi sangatlah identik. Kebudayaan Betawi sebagai sub kultur hampir tidak bisa dipisahkan dengan Islam, mulai seorang anak Betawi lahir hingga dia meninggal dunia, dalam wilayah pergaulan, semuanya tidak bisa dilepaskan dari ajaran-ajaran Islam.
Adapun sarana-sarana untuk mendalami dan mengikat diri orang Betawi dengan ke-Islamannya, disimbolkan dengan banyaknya masjid-masjid di wilayah ini.Dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan, misalnya dalam penarikan garis keturunan, mereka mengikuti prinsip bilinieal, artinya menarik garis keturunan kepada pihak ayah dan pihak ibu. Adat menetap nikah sangat tergantung kepada perjanjian kedua pihak sebelum pernikahan berlangsung. Ada pengantin baru yang sesudah nikah menetap di sekitar kediaman kerabat suami (patrilokal) dan ada pula yang menetap disekitar lingkungan kerabat istri (matrilokal). Pada masa lalu, setiap orang tua selalu bercita-cita membuat rumah (ngerumahin) bagi anaknya yang telah menikah. Yang membuat rumah itu mungkin orang tua pihak laki-laki atau orang tua pihak perempuan. Pada saat sudah dibuatkan rumah itulah, pasangan ini berdiri sendiri lepas dari tanggunga jawab orang tua. Di pihak lain orang tua pada umumya cenderung menyandarkan hidup di hari tuanya pada anak perempuan. Mereka merasa anakprempuan sendiri akan ebh telaten mngurus orang tua dari pada menantu perempuan, meskipun mereka tidak membedakan anak laki-laki dn anak perempuan.Dalam rangka lingkaran hidup individu atau daur hidup, orang betawi mengenal bermacam-macam adat atau upacara, mulai sejak bayi dlam kandungan sampai kepada kematian dan sesudah kematian itu sendiri.
Mereka mengenal upacara selamatan ketika jabang bayi tujuh bulan dalam kandungan (nuju bulanin) atau kekeba, uapaca kerik tangan dalam rangka kelahiran , khitanan (penganten sunat) khatam Quran (penganten tamat) adat berpacaran (ngelancong) bagi kaum remaja, upacara perkawinan dn sebagainya. Berikut ini akan diberikan sekadar penjelasan singkat dari adat atau upacara tertentu.Seperti juga pada beberapa masyarakat lain orang Betawi juga mengadakan upacara ketika seseorang wanita hamil tujuh bulan yang disebut upacara ikekeba atau nuju bulanin (nujuin). Upacara ini diadakan hanya pada kehamilan pertama. Tujuan upacara ini adalah mensyukuri nikamat Tuhan , memohon keselamatan, berisi harapan agar anak yang akan lahir itu menjadi anak yang soleh , berbudi luhurpatuh pada orang tua, danupara ini semacam pemberitahuan kepada masyarakat lingkungan nya. Itulah sebabnya dalam upacara ini dibaca kitab suci Al Quran, khususnya surat Yusuf. Isi surat ini menggambarkan ketampanan paras nabi Yusuf, keluhuran usi akhlaknya, kepatuhannya pada orang tua. Lalu terselip harapan semoga anak yang akan lahir ini mendekati sifat nabi itu.Dalam kehidupan sehari-hari yang yang berprilaku tak senonoh sering disebut kaya engga dikebain.
Dalam rangka upacara ini masyarakat Betawi ingin menonjolkan nilai-nilai tahu bersyukur kepada tuhan, sholeh, budi luur dan taat pada orang tua. Setelah kelahran bayi antara lain ada upacara kerik tangan. Upacara ini berupa serah terima tugas perawatan bayi dari dukun bayi kepada keluarga yang ditolong dukun itu. Intinya merupakan ungkapan rasa teri kasih dari keluarga itu kepada sang adukun, dan dukun sendiri mengisyaratkan bahwa ia melakukan pekerjaan itu dengan penuh keikhlasan.Orang Betawi melaksanakan khitanan, yang disebut sunatan atau pnganten sunat untuk memenuhi ketentuan agama dan kesehatan.anak laki-laki yang disunat pada usia 5-10 tahun. Rangkaian acara itu sendiridari acara mengarak, menyunat, dan selamatan. Anak yang disunat dikenakan pakaian penganten dan diarak keliling kampung. Kadang-kadang anak yang disunat itu naik kuda dan disertai bunyi-bunyian seperti rebaa dan gamelan. Perangkat arak-arakan ini seperti pakaian pengantin dan kuda tadi, biasanya disewa.Bunyi-bunyian tadi untuk menarik perhatian masyarakat sekitarnya terutama anak-anak dan ikut memperpanjang barisan arak-arakan.
Hal ini menyebabkan anak yang akan disunat menjadi gembira.acara sunatan sendiri dilaksanakan keesokan harinya yang dilanjutkan dengan selamatan pada petang dan malam harinya. Bagi yang tidak mampu selamatan itu dilaksanakan dengan sederhaa dengan mengundng para tetangga dan orang-orang yang membacakan doa. Bagi yang mampu, upacara selamatan itu diteruskan dengan hiburan, misalnya pertubjukan topeng, lenong, atau wayang yang berlangsung semalam suntuk.Sejak masa lalu pendidikan agama bagi anak-naka Betawi, baik pria maupun wanita sangat diutamakan antara lain belajar mengaji Quran. Suatu waktu , guru mengaji menyatakan kepada orang tua tentang kemampuan anaknya yang dianggapcukup dan tamat dalam mengaji Quran. Keputusan guru mengaji tadi merupakan kebahagian dan kebanggaan tersendiri bagi yang bersangkutan dan orang tuanya. Karena itulah diadakan upacara penyambut keberhasilan ini dengan nama upacara penganten tamat.yang sudah menjadi tradisi bagi orang Betawi. Upacara ini sekaligus berfungsi sebagai suatu peberitahuan kepada masyarakat .Khatam Quran ini merupakan salah satu unsur wahana mengangkat status seseorang anak menjadi lebih tinggi dalam pandangan masyarakat, sehingga mudah diterima dalam pergaulan dan basanya mudah dalam mendapatkan jodoh. Sebaliknya dengan telah dilangsungkannya upacara tadi, seseorang diharapkn akan ,mengubah sikap sebagai anak-anak menjadi semakin dewasa, mengamalkan ilmu yang dimiliki, menjadi suri teladan dalam masyarakat. Upacara inipun merupakan sarana untuk terjadinya sarana transformasi nilai agama dan nilai sosial dalam masyarakat Betawi ini.
Dalam upacara perkawinan, masyarakat Betawi memiliki rangkaian-rangkaian yang merupakan satu kesatuan yaitu mulai dari upacara melamar (ngelamar), serahan, pesta, malem negor, dan lain-lain. Sebelum perkawinan berlangsung, biasanya di dalam masyarakat Betawi berlangsung tradisi yang dinamakan ngelancong. Ngelancong adalah salah satu prosesyang harus dilewati oleh anggota masyarakat Betawi sebagai langkah untuk memperdalam dan meyakinkan antara pasangan laki-laki dan perempuan.[25] Apabila dalam proses ngelancong ini berlangsung lancar, maka mereka meneruskannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu ngelamar dan meneruskannya ke jenjang akhir yaitu jenjang pernikahan. Masyarakat Condet mempunyai kebiasaan menikah dengan sesama kerabatnya, maka hal ini pada awal-awalnya merupakan hambatan bagi Condet untuk maju. Perbauran dengan kawin campur antar golongan atau suku bangsa tadi dpula oleh danya kesatuan agama. Orang Betawi dapat dikatakan hampir seluruhnya memeluk agama Islam. Mereka juga umumnya dmerupakan pemeluk-pemeluk agama yang taat. Kehidupan mereka banyak dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai-nilai agama Islam.***
[1] Ridwan Saidi, Ibid.
[2] Ridwan Saidi beralasan tentang hal ini, kalau seandainya Jakarta belum dihuni oleh masyarakat buat apa raja Tarumanegara membangun bendungan dan irigasi. Lih, Ridwan Saidi, Op.Cit hal. 4-5.
[3] Tidak ada data-data tertulis mengenai asal usul penamaan daerah Condet. Keterangan bahwa kata Condet berasal dari dua suku kata yaitu ci dan ondeh hanyalah merupakan cerita masyarakat Betawi yang diwariskan secara turun temurun (oral history). Cerita ini pun bertahan sampai sekarang, lebih lanjut mengenai hal ini atau pun tentang asal usul daerah lainnya di Jakarta dapat dilihat dalam www.beritaJakarta.com.
[4] Alwi Shahab dalam Republika, 11 Nopember 2001.
[5] Ibid.
[6] Lebih jelasnya dapat dilihat dalam www.bluefame.com.
[7] Ran Ramelan adalah salah satu dari sekian penulis yang mengabadikan kehidupan masdyarakat Betawi Condet dalam sebuah buku. Untuk lebih jelasnya silahkan baca dalam Ran Ramelan, Condet, Cagar Budaza Betawi. Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Yakarta, tanpa tahun.
[8] www.bluefame.com
[9] Republika, 4 Nopember 2007
[10] Ran Ramelan, Op.Cit.
[11] Sumber Arsip Kolonial, De Haan 1910:1911: Van Diesen 1989.
[12] Lihat M. Junus Melalatoa, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia: Jilid A-K. Departemen P & K Republik Indonesia. Jakarta, 1995.
[13] M. Junus Melalatoa, Ibid.
[14] Lihat dalam Tatok Taranggono, Cagar Budaya Condet: Suatu Kajian Ekologi Budaya di Wilayah Condet DKI Jakarta. Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta, 1992. Keterangan yang hampir senada juga dapat dilihat dalam Nurjati, Partisifasi Masyarakat Betawi pada Upaya Pelestarian Lingkungan (Studi Kasus di Kawasan Condet Jakarta Timur), Disertasi Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia. Jakarta, 1996.
[15] Tatok Taranggono, Ibid.
[16] Tatok Taranggono, Op. Cit
[17] Tatok Taranggono, Lock. Cit.
[18] www.beritaJakarta.com
[19] Kompas, 19 juli 2005
[20] Warta Kota, 7 April 2006
[21] Intisari, Juni 2004
[22] Republika, 22 Juni 2008
[23] Lihat disertasinya, Nurlina Henny Sipatuhar, Hubungan Antara Femininitas-Maskulinitas: Konsep Diri dan Minat Pilihan Pekerjaan Pada Siswa-Siswi Kelas 3 SMA Negeri 51 Condet. Disertasi pada Program Studi Psikologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta, 1994.…..
[24] Baca M. Junus Melalatoa, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia: Jilid A-K Departemen P & K Republik Indonesia. Jakarta, 1995. Tetapi sepertinya tesis pembagian seperti ini sekarang ini sudah tidak relevan lagi, mengingat di Jakarta pada saat ini sulit sekali ditemukan daerah pinggiran yang penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani atau pun di bidang perkebunan.
[25] M. Junus Melalatoa, Ibid. hal. 164.
sumber: http://sabdaleqom.blogspot.com/2008/07/sejarah-condet.html?zx=8af58a9cd8a07cf
4 Comments:
waah mantep banget artikelnya
salam kenal juga dari condet..
kota seribu gang..he3
terima kasih... gw cm cupipes doank kok.
btw, di sebelah mana bang condetnya?
Keren agan!! manteb bener artikel'a... ^ ^
condetnya sebelah mana gan??
oiya, di condet sendiri ada komunitas condet gitu ga sih gan???
wah keren bos artikelnya. izin share yaa
salam kenal.
http://jainudin-betawi.blogspot.com/
Post a Comment
<< Home