Friday, April 07, 2006

Asal nama Gedong (Kampung & Jalan di Condet)

Betawi Seabad Silam

Rumah Tua Tanjung Timur
18 November 1903

MENURUT Bintang Betawi, kemarin telah meninggal dunia Tjaling Ament, tuan tanah Tanjung Oost (Tanjung Timur) dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dibawa dari rumahnya di Gambir untuk dikuburkan di Tanjung Timur. Sejumlah pembesar gubernemen, terutama dari kantor asisten residen Meester Cornelis, datang melayat.
Sejak beberapa waktu yang lalu Ament tidak tinggal lagi di Tanjung Timur, karena kawasan itu tidak aman, sering disatroni perampok. Padahal landhuis (rumah peristirahatan) di Tanjung Timur itu sangat besar dan merupakan bangunan yang terkenal di masa kumpeni. Dari keberadaan landhuis itulah lahir nama kampung atau Jalan Gedong di jalan menuju Condet.
Landhuis Tanjung Timur kini tidak lagi bisa dinikmati, karena terbakar pada tahun 1985. Sisa-sisanya dapat disaksikan di dekat Jalan Gedong, simpangan dari jalan besar menuju Bogor. Atau persis tusuk sate Jalan Condet Raya di Jalan Arteri TB Simatupang. Terletak di sebelah timur Kali Ciliwung, lokasinya tidak jauh dari pabrik Friesche Vlag, enam kilometer sebelah selatan Kramat Jati.
Sejarah landhuis Tanjung Timur tidak bisa dipisahkan dari Willem Vincent Helvetius van Riemsdijk, anak lelaki dari Gubernur Jendral Jeremias van Riemsdijk yang menjadi gubernur jendral pada tahun 1775-1777.
Tetapi kalau ditelusuri siapa yang membangun landhuis Tanjung Timur, kita akan sampai pada Pieter van de Velde, anak dari Amersfoort, yang tahun 1740-an menjabat klerk. Ia kemudian menjadi anggota Dewan Hindia, direktur dari Sositet Amfiun dan pimpinan rumah sakit. Ketika terjadi pembantaian orang Cina pada tahun 1740, ia mengambil alih tanah di sebelah selatan Meester Cornelis, yang sebelumnya dimiliki oleh Kapiten Cina Ni Hu Kong. Sampai tahun 1750 ia menambah penguasaan tanah di situ, antara lain dengan membeli tanah Bupati Cianjur, Aria Wiratanoe Datar. Tanah itulah yang kemudian dikenal sebagai tanah Tanjung Timur atau Groeneveld.
Di atas tanah itu pada tahun 1756 ia membangun rumah besar (landhuis) dengan model berbeda dari rumah-rumah Belanda di kota tua. Bentuknya adalah vila tertutup. Van de Velde tidak lama menikmati rumah besar itu. Ia meninggal pada tahun 1763. Pewarisnya menjualnya pada tahun 1759 pada Adriaan Jubbels, seorang tuan tanah kaya-raya dari usaha penggilingan tebu di sekitar Betawi. Ketika ia meninggal pada tahun 1763, rumah Groeneveld dibeli oleh Jacobus Johannes Craan, yang kemudian memperbaiki bangunan dan mengganti pintu dengan kayu ukiran.
Craan merupakan pemilik tanah yang kaya-raya dengan sejumlah jabatan yang menguntungkan. Ia tidak saja menjadi direktur dari Sositet Amfiun (perkumpulan candu), komisaris dari tanah-tanah milik kumpeni di daerah hulu (udik) Betawi, dan menjadi anggota Dewan Hindia.
Craan yang mengawini gadis berumur 15 tahun itu sempat lama tinggal di situ. Salah seorang anaknya, Catharina Craan, menikah dengan Helvetius van Riemsdijk.
Ketika ayah mertuanya meninggal, Riemsdijk memperoleh warisan tanah luas itu pada tahun 1781. Perjalanan hidup Riemsdijk muda ini dengan jelas menunjukkan adanya KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) di lingkungan kumpeni.
Riemsdijk muda dilahirkan pada tahun 1752. Ayahnya, Jeremias van Riemsdijk, merintis dari bawah. Ia pernah menjadi kapten dalam dinas kumpeni. Pada tahun 1735 dalam usia 23 tahun Jeremias hidup tanpa uang di Hindia Timur. Tetapi hanya dalam waktu sepuluh tahun ia menjadi tokoh yang kaya dan berpengaruh di Betawi. Posisi itu membuat keturunan Riemsdijk mudah mendapatkan jabatan di lingkungan kumpeni.
Helvetius Riemsdijk masuk dengan pangkat asisten. Tujuh tahun kemudian ia mencapai jabatan administratur tingkat satu, dan ditempatkan di pulau Onrust, pulau tempat memperbaiki kapal-kapal kumpeni.
Sejak menduduki jabatan penting, mulai tahun 1790-an ia mengoleksi tanah-tanah di berbagai kawasan penting Betawi. Misalnya Tanah Abang, Cibinong, Cimanggis, Papisangan, Ciampea, Cibubulang, Sadeng, dan terutama sekali Tanjung Timur. Pada tahun 1777 jumlah penghasilannya mencapai 453.000 rijksdaalder (1 rds = 2,5 gulden).
Salah seorang anaknya, Daniel van Riemsdijk (1783-1860) tinggal di tanah itu. Ia seorang petani sukses, yang sempat memiliki 6.000 sapi. Maka sejak tahun 1830 Tanjung Timur dikenal sebagai tempat penghasil susu.
Ketika ia meninggal pada tahun 1860, warisannya jatuh pada anak perempuan Dina Cornelia, yang kemudian menikah dengan Tjaling Ament, seorang Belanda berasal dari Fries.
Landhuis Tanjung Timur juga mencatat peristiwa bersejarah, ketika Gubernur Jendral Van Imhoff bertemu dengan Ratu Syarifa Fatimah, yang menjadi penguasa Banten, setelah suaminya sakit. Mereka merundingkan hubungan yang lebih baik antara kumpeni dan Banten. Tetapi perundingan itu tidak mampu mengubah jalannya sejarah. ( Adit SH, sejarawan dan pengamat sosial, tinggal di Jakarta)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home