Friday, April 07, 2006

CONDET

JALAN Condet Raya, Jakarta Timur, yang menghubungkan daerah Cililitan-Gedong Cijantung selalu hiruk-pikuk. Ken-daraan bermotor tidak pernah putus lewat dan menghamburkan polusinya di mana-mana. Rumah-rumah gedongan gaya masa kini berdiri di mana-mana, seperti layaknya kawasan lain Ibu Kota, lengkap dengan stasiun pompa bensin.

Kawasan Condet yang di atas kertas disebut sebagai kawasan cagar budaya Betawi itu sama sekali tidak ada bedanya dengan kawasan permukiman Jakarta umumnya. Bangunan-bangunan bertingkat terlihat di mana-mana. Jalan-jalan beraspal pun sudah tembus dari tempat satu ke tempat lain. Di mana-mana dapat dilihat papan bertuliskan 'rumah ini dijual'. Kalau dibilang ada bedanya, kawasan itu memang sedikit lebih hijau.

Lebih 24 tahun lalu, kawasan itu diresmikan sebagai daerah cagar budaya Betawi dan sentra buah-buahan. Selembar surat keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin bernomor D.IV-115/e/3/1974 dikeluarkan untuk menguatkan kawasan seluas 18.228 hektar sebagai kawasan cagar budaya yang meliputi Kelurahan Batuampar, Balekambang, dan Kampungtengah.

Begitulah-seperti kebanyakan hal lainnya di negeri ini- kebijakan itu hanya berhenti di atas kertas. Ketidakjelasan konsep dan lemahnya pengawasan mengakibatkan kawasan cagar budaya itu tumbuh sebagaimana layaknya permukiman biasa. Pemda DKI sempat men-status-quo-kan kawasan itu pada tahun 1986 karena derasnya pembangunan perumahan. Saat itu pemda melarang mutasi tanah, tanaman maupun tata guna tanah di kawasan Condet.

Status quo juga tinggal omongan belaka. Sekitar tahun 1990, puluhan rumah mewah juga tumbuh di kawasan itu. Pemda DKI pun hanya melongo seperti macan kertas karena tidak mampu melakukan apa-apa atas tumbuhnya kawasan itu. Tidak ada kekuatan hukum pemda yang mampu menghambat dan menjaga Condet untuk tumbuh menjadi permukiman Betawi yang khas. Apalagi aparat malah lebih suka esek-esek menggosokkan jari dan telunjuk kepada warga yang mau kongkalikong.

Tidak heran jika saat ini, sama sekali tidak ada perbedaannya antara kawasan ''cagar budaya'' Condet dengan kawasan permukiman Ibu Kota lainnya. Warga Condet pun sama sekali tidak merasakan manfaat dari ditetapkannya kawasan mereka menjadi kawasan cagar budaya, kecuali kesulitan membangun karena larangan pemda. Sejumlah warga menilai, kebijakan cagar budaya Pemda DKI untuk Condet itu sama sekali tidak memperhitungkan keberadaan warganya, yang juga perlu hidup dan bermata-pencaharian sebagaimana layaknya warga Jakarta lain.

***
JIKA warga Condet ditanya, apa enaknya menjadi pemukim di kawasan cagar budaya, mungkin ia akan tertawa. Itu namanya ngelindur. ''Masyarakat Betawi asli yang berada di sini tidak memperoleh keuntungan sedikit pun dari penetapan Condet sebagai Cagar Budaya,'' tutur M Rosyid Achmad.

Pemda DKI memang disebut-sebut memberi bantuan kepada Condet. Seumur-umur kawasan itu ditetapkan menjadi kawasan cagar budaya, Pemda DKI pernah memberi bantuan untuk membangun sebelas rumah khas Betawi di Kelurahan Balekambang dan enam rumah di Batuampar. ''Selain itu, tidak ada dampak peningkatan hidupnya bagi masyarakat Betawi,'' jelas Achmad, yang juga mantan Sekretaris Lurah Batuampar .

Ujung-ujungnya malah warga mendapat kesulitan karena tanah terkena ketentuan khusus sebagai kawasan cagar budaya. Untuk membangun gubuk saja-istilahnya-sulitnya minta ampun karena untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) sulitnya minta amplop, eh minta ampun.

Harga tanah tidak pernah lebih dari Rp 500.000 per meter perseginya. Kalau lagi butuh duit, saat ini warga paling menjual tanahnya seharga Rp 300.000 hingga Rp 500.000 per meter persegi. Padahal kalau Condet bukan kawasan cagar budaya, harga tanah bisa mencapai Rp 1 juta per meter. ''Gara-gara dinamain cagar budaya segala, orang luar jadinya ragu-ragu kalau mau membeli tanah di sini. Padahal kehijauan dan dinginnya daerah ini merupakan daya tarik Condet untuk menjadi pemukiman,'' kata seorang warga Betawi di ujung Jl Kober Balekambang. ''Tuh rumah tetangga saya saja nggak laku-laku,'' katanya sambil menunjuk sebuah gang di Jl Gardu.

Kawasan Condet memang merupakan daerah yang memiliki koefisien dasar bangunan (KDB) yang rendah, 20 persen. Artinya, dari lahan yang dimiliki hanya 20 persennya saja yang boleh dibangun. Dengan KDB demikian itu maka hanya mereka yang memiliki tanah minimal seluas 500 meter persegi yang boleh mendapatkan IMB. Padahal setelah tanahnya dijual sana-sini, masyarakat Betawi sendiri tanahnya paling pol 100 sampai 200 meter persegi saja.

''Kalau sudah demikian, mereka datang kepada saya untuk minta izin membangun rumahnya sendiri di tanah yang cuma segitu-gitu-nya. Apa lalu saya harus menolaknya? Nah di sini cagar budaya itu menjadi buah simalakama bagi saya,'' tutur Lurah Achmad. Bicara sebagai pribadi, dia lebih suka cap cagar budaya Betawi untuk Condet itu dicabut saja.

Di Kelurahan Balekambang saja dengan luas wilayah 167,450 hektar kini hanya tinggal 35 persen saja yang masih merupakan kebun salak dan dukuh. Atau cuma 58 hektar saja. ''Sedangkan selebihnya sudah merupakan bangunan yang sebagian besar tidak memiliki IMB,'' ungkap Achmad. He..he.. yang aneh kok pelanggaran itu malah dibiarkan. ''Jadi tidak heran jika kawasan Condet sebagai cagar budaya itu tambah ruksak saja,'' ujar seorang warga.

Jika Condet saja bisa dibilang gagal, lalu kawasan Srengsengsawah di-incer untuk cagar budaya Betawi, ya orang Betawi cuma titip pesen buat para petinggi Pemda DKI, ''Cuma keledei yang jatuh dua kali di lubang yang same,''. Dan yang pasti, para petinggi pemda 'kan bukan keledai. Percaya deh!


Sumber sejarah : Kcm

1 Comments:

Blogger nyeleneh said...

hi bang gw juga tinggal di condet

gw anak Batu Ampar II n sering maen ke lapangan

liat blog gw juga ye bang

Hidup Condet, Jalan yg ngelahirin banyak supir mobil n pengendara motor yg lebih jago daripada Schummi dan Rossi

12:13 AM  

Post a Comment

<< Home