Wednesday, April 29, 2009

Pendiri Global Islamic School

Menggagas Sekolah Islam Bertaraf Internasional

ImageB Winarso
Berangkat dari keprihatinan dan panggilan nurani, ia mendirikan Global Islamic School berbasis imtak dan iptek. Cita-citanya satu, menjadikan sekolah Islam tidak lagi dipandang sebelah mata.
Ceritanya berawal delapan tahun lalu, tepatnya pada tahun 2001. Saat itu, usaha laki-laki ini adalah show room mobil. Tak disangka-sangka, ketika mengambil mobil di sekitar Matraman,




Oleh Rivai Hutapea

Jakarta Timur, mobilnya terlempar batu tawuran anak sekolah.

Spontan saja, muka laki-laki yang ramah ini memerah. Namun, itu tak berlangsung lama. Entah mengapa, justru timbul keprihatinan dari dalam hatinya. Ia pun bertanya-tanya apa yang salah sehingga anak-anak sekolah tawuran seperti itu.

Sejak kejadian itu, ada dorongan kuat yang tak kuasa dibendung dari dalam dirinya untuk mengentaskan problem tawuran tersebut. Tanpa sengaja laki-laki ini bertemu dengan H Syaichul Basyar dan teman-teman.

Mereka mengobrol panjang lebar tentang problem tawuran ini. Dari obrolannya dengan Syaichul Basyar cs, tercetuslah ide mendirikan sekolah Global Islamic School (GIS).

B Winarso, demikian nama laki-laki yang penuh perhatian ini. Keputusan suami Ninik Yuliani menceburkan diri ke dunia pendidikan tak pernah ada yang menduga. Tidak sedikit pula dari koleganya yang mencibir, bahkan menyebutnya “gila”. Sebab, ia dianggap terlalu berani terjun di dunia yang sama sekali tidak pernah ditekuni sebelumnya.

“Karena hati. Kalau sudah bicara hati, penjabarannya sangat luas. Kecintaan bahasa saja tidak ada artinya kalau tidak tumbuh dari hati. Niat yang baik tentu akan dikabulkan Allah SWT,” ujarnya memberi alasan keputusannya melibatkan diri ke dunia yang mencerdaskan anak bangsa.

Dengan modal usaha sebelumnya, setahun kemudian pada tahun 2002, Pak Win - demikian laki-laki kelahiran Kebumen ini biasa disapa - membuka sekolah GIS berbasis imtak dan iptek di kawasan Condet, Jakarta Timur. Mulai dari sekolah Taman Kanak-kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Umum (SMU).

Tak pernah terbayang sebelumnya, langkahnya itu cepat berbuah. Tak seperti kebanyakan sekolah baru, begitu dibuka orang tua murid yang mengambil formulir pendaftaran di GIS berjumlah 867 orang. Padahal siswa yang diterima hanya sebanyak 380 untuk semua unit dari tingkat play group, TK sampai SMU.

Bahkan, dari tahun ke tahun kecenderungannya semakin bertambah. Padahal, kuota yang dapat diterima jumlahnya tidak bertambah. “Alhamdulillah,” ujar Winarso penuh syukur.

Keterbatasan kuota murid yang diterima ini, tak dapat dilepaskan dari komitmen awal Pak Win, mendirikan lembaga ini. Yaitu, mengemban amanah orang tua siswa. Karena itu, Winarso menetapkan jumlah murid di play group hanya 15 orang.

Untuk TK A-B berjumlah 20 murid, SD-SMA 24 murid saja secara paralel masing-masing kelompok. Sehingga total jumlah murid yang diterima 380 setiap tahun.

“Dengan jumlah murid yang terbatas, pengontrolan guru kepada anak didik juga akan maksimal. Sehingga diharapkan proses belajar mengajar akan berjalan efektif dan maksimal seperti yang kita harapkan,” jelasnya.

Meski kebanjiran pendaftar setiap tahunnya, namun ayah tiga putra ini belum berani menyebut fenomena ini disebabkan keunggulan dari sekolah bertaraf internasional yang didirikannya ini. Malah, Pak Win mengaku GIS masih punya banyak kekurangan yang mesti dibenahi.

Sebab menurut hematnya, untuk dapat dibilang eksis dan memiliki warna, produk sebuah lembaga pendidikan sedikitnya telah berjalan 15 tahun dihitung sejak pertama kali berdiri. Enam tahun untuk produk awal.

Meneruskan sampai SMU berjumlah 12 tahun. Kemudian tiga tahun berikutnya baru memberikan warna. “Sebab produk pendidikan bersifat long time,” katanya memberi alasan.

Terkait dengan sekolah bernuansa Islam, Winarso mengaku prihatin dengan perkembangannya. Selama ini, sekolah Islam dipandang sebelah mata, bahkan selalu dinomorduakan.

Padahal - semestinya, tidaklah seperti itu. Ia pun berkeinginan ada sekolah Islam - tak terkecuali GIS - mampu bersaing dengan sekolah (terutama) yang berciri keagamaan lainnya.

Untuk merealisasikan cita-citanya menjadikan GIS sebagai sekolah kebanggaan umat Islam, ia terus membenahi GIS. Salah satunya dengan menambah lokasi baru dan memperluas sarana pendidikan.

Kini, GIS memiliki tiga lokasi pendidikan. Di Condet Raya No 5 berdiri komplek sekolah dengan seluas satu hektar. Di sini diperuntukkan untuk tingkat SMP-SMU.

Di depan komplek ini seluas 9.000 meter berdiri GIS untuk play group dan TK. Beberapa meter dari situ, seluas 9.000 meter berdiri lokasi pendidikan untuk tingkat SD.

Selain menyediakan halaman yang memadai bagi murid, ia juga berusaha menyediakan sarana belajar dan gedung sekolah yang mumpuni untuk memompa kreativitas para anak didik dari tingkat SD sampai SMU.

“Karena minimnya tempat, kadang-kadang untuk napas saja anak-anak kesulitan. Tersedianya lokasi, halaman dan sarana penunjang lainnya akan memicu anak didik belajar dan berkreatif,” tandas pria yang berpikir jauh ke depan ini.

Tak hanya itu, sekolah Islam menurutnya jangan alergi dengan perkembangan teknologi, bahkan semestinya berada di garda terdepan memanfaatkan teknologi yang ada.

Itulah sebabnya, ia juga memfasilitasi proses belajar mengajar di GIS dengan menggunakan teknologi tinggi, seperti pemanfaatan IBIM. IBIM adalah media pendidikan di mana seorang guru menjelaskan di papan tulis, anak-anak dapat men-set-nya di laptop.

“Dengan sarana ini murid-murid diharapkan familiar dengan teknologi. Berguna juga untuk mengulang pelajaran kembali di rumah masing-masing,” tandasnya sambil mengharap sekolah-sekolah Islam lainnya dapat pula memanfaatkan teknologi ini.

Yang lebih penting dari itu sambung Win, ketersediaan staf pengajar yang memadai. Agar proses pendidikan keislaman maksimal, ia menyediakan dua orang guru setiap kelas. Satu diantaranya adalah guru agama yang bertugas mengawal pendidikan keislaman murid.

Karena itu, dari 170 staf pengajar di GIS, 80 diantaranya adalah guru ngaji. Mereka inilah yang setiap hari mengajar baca Qur’an dan nilai-nilai Islam kepada anak didik sehingga ada kontrol yang efektif kepada murid.

Lahir di desa terpencil Wonokromo, Kecamatan Alian, Kebumen, Winarso terlahir dari pasangan Arsomiharjo-Sunarti. Dari kecil ia tinggal bersama neneknya. Pendidikan SD-SMP diselesaikan di kampung halamannya, Kebumen.

Pernah masuk SMP Tamtama di Kebumen. Lantaran harus bekerja untuk membiayai sekolahnya. Masuk ke SMA Muhammadiyah di Kebumen. Waktu SMA menjadi masa yang berarti baginya karena disinilah bibit-bibit keislamannya mulai tumbuh.

Usai tamat SMA, ia menguji nasib ke Jakarta dan bekerja di perusahaan tenaga kerja Indonesia mengikuti Pak Farid. Di sini ia bekerja selama sembilan tahun. Tahun 1991, Win memberanikan diri mendirikan usaha tenaga kerja sendiri dengan bendera Bumenjaya Duta Putra.

Satu yang menjadi cita-cita Pak Win, bermunculan sekolah-sekolah Islam yang mampu memiliki sarana memadai, bersaing, tidak stagnan, maksimal memanfaatkan teknologi dan unggul dari segi aplikasi agama. Dengan demikian sekolah Islam tidak lagi akan dipandang sebelah mata, apalagi dinomorduakan.

http://sabili.co.id/index.php/200904071529/Wawancara/B-Winarso.htm

Labels: , , , ,