Tuesday, July 19, 2005

Arsitektur Rumah Betawi

“MASYARAKAT Betawi tergolong masyarakat rawa. Itu sebabnya mereka mengenal model rumah panggung,” kata Ridwan Saidi, tokoh Betawi yang sedang menyiapkan peluncuran buku riset sejarah garapannya: Babad Tanah Betawi.

Namun, Ketua Tim Pengelola Perkampungan Budaya Betawi (PPBB) Agus Asenie Dipl Ing, praktisi arsitektur berpendapat, masyarakat Betawi sebenarnya tinggal di habitat yang beragam, sejak pesisir hingga pedalaman. Bahkan, sekarang juga tinggal di wilayah urban padat penduduk di tengah Kota Jakarta.

“Sehingga rumah panggung bukan satu-satunya sistem rumah tradisionilnya. Arsitektur rumah Betawi juga mengenal rumah darat. Jadi memang ada variasi pola arsitektur rumah sesuai dengan rentang sebaran komunitas Betawi dari pesisir yang mencari nafkah sebagai nelayan hingga pedalaman yang bercocok tanam padi sawah,” kata Agus, putra Betawi juga, asal Slipi.

Dua tahun terakhir Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI melalui Tim Pengelola Perkampungan Budaya Betawi yang dipimpin Agus Asenie melaksanakan proyek pemugaran sebuah rumah tradisional dan pembuatan rumah baru berarsitektur tradisional Betawi di kampung Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Ini satu bagian kecil saja dari rencana proyek berjangka multi tahun di atas lahan 165 Ha, yang tidak saja bertujuan mengkonservasi arsitektur tradisional Betawi di kawasan itu, tapi juga berusaha membuat daerah tujuan wisata baru di selatan Jakarta. Lokasinya ideal karena adanya Danau Setu Babakan, berudara sejuk (24-26 derajad Celsius), berkontur (naik turun), dan sudah dihuni oleh komunitas Betawi yang masih lumayan mengukuhi adatnya.

Setiap Sabtu dan Minggu, di panggung berarsitektur Betawi yang dibikin oleh Tim PPBB sudah rutin berlangsung atraksi wisata seperti tari ondel-ondel juga upacara adat seperti perkawinan dan khitanan, yang sudah mulai dikunjungi turis manca negara. Tahun lalu jumlah pengunjung sudah mencapai 10.000 orang, dengan salah satu daya tarik utama sebuah situs rumah tradisional Betawi yang dipugar PPBB milik warga setempat bernama Pak Samin Jebul (60).

MENURUT hitungan kasar Ridwan Saidi, saat ini ada tak kurang dari 3.000 rumah berarsitektur tradisional Betawi di kawasan hunian komunitas Betawi, sejak kawasan Pulau Seribu di utara, hingga Cileungsi di selatan, sejak Balaraja (Tangerang) di barat sampai Cikarang (Bekasi) di timur.

Sebegitu jauh, baik Ridwan Saidi maupun Agus Asenie mengutarakan, belum ada sumber sekunder yang berasal dari kalangan akademik tentang arsitektur rumah Betawi. Tidak ada primbon atau pustaka klasik yang berisi kodifikasi arsitektur Betawi, sehingga Ridwan mengaku harus meraba sendiri ciri khas arsitektur rumah Betawi ini ketika meneliti, seraya dibandingkan dengan arsitektur rumah tradisional suku lain. Misalnya, bahwa masyarakat Betawi tidak mengenal fengshui, hukum arah angin sebagaimana masyarakat Tionghoa.

“Betawi pada awalnya adalah masyarakat river basin. Mereka membangun masyarakat
berkelompok sepanjang sungai-sungai di kawasan ini. Ada belasan sungai besar di kawasan ini. Pintu depan rumah menghadap ke arah sungai. Akibatnya, setelah perlahan-lahan rumah Betawi masuk ke pedalaman, arah hadap rumah Betawi tidak teratur seperti rumah di Jawa yang berjajar menghadap jalan. Tetapi, sisa-sisa budaya DAS-nya masih tertinggal, biasanya dalam bentuk adanya sumur gali di depan rumah. Anda ingat Mandra atau Basuki di serial Si Doel kalau mandi di sumur di depan rumah mereka,” katanya.

Sekarang ini, terkena budaya kontemporer yang membataskan jumlah lahan yang kian
menuntut pola arsitektur compact (ringkas), kata Agus, sumur depan rumah sudah kian hilang. Digantikan pompa-pompa listrik yang dipasang di belakang rumah. Pada dasarnya ada tiga zoning di rumah tradisional Betawi, kata Ridwan Saidi. Kurang lebih mengikuti hukum arsitektur modern juga, kawasan publik (ruang tamu), kawasan privat (ruang tengah dan kamar) dan kawasan servis (dapur), tambah Agus. Dalam bahasa Betawi, kawasan publik yang berupa ruang tanpa dinding ini kawasan amben, disusul ruang tengah yang didalamnya ada kamar yakni wilayah pangkeng. Paling belakang adalah dapur atau srondoyan.

Masing-masing kawasan ini bisa merupakan bangunan sendiri, dengan pola atap sendiri. Bisa pula satu rumah utuh dengan sebuah saja pola atap, yang terbagi dalam tiga zona tadi. Variasi ini ditentukan status sosial ekonomi penghuninya. Jika setiap zona punya satu pola atap, masing-masing bisa berupa salah satu dari model atap pelana (segitiga sama sisi), atau limas dengan dua kali “terjunan” air hujan yang sudutnya berbeda. Atau lagi kombinasi dari kedua sistem atap ini.

Pilihan pola atap menurut Ridwan Saidi, tampaknya tidak terlalu menjadi tuntutan dalam arsitektur tradisional Betawi. Tidak seperti di Jawa yang sampai perlu ada selamatan khusus untuk itu. Bagi komunitas Betawi yang penting justru pembangunan pondasi rumah. Itu sebabnya, mereka mengenal selamatan “sedekah rata bumi". Hanya saja, sambung Ridwan, selamatan ini dilakukan sesaat setelah kuda-kuda atap rumah sudah sempurna berdiri.

RIDWAN mencatat ada sebuah sudut penting, bahkan sakral dalam arsitektur Betawi.
Yakni, konstruksi tangga, yang diistilahkan balaksuji. Sayangnya ini agak sulit ditemukan di rumah Betawi bukan panggung. Balaksuji adalah konstruksi tangga di rumah panggung Betawi. Rumah darat kadang-kadang juga punya, jika lantaran “kultur rumah panggung", membuat pemilik rumah sengaja meninggikan lantai rumahnya dari permukaan tanah sekitar. Pada kasus demikian pemilik rumah juga membuat balaksuji, tangga menuju rumah.

Tak ada konfirmasi literer soal ini. Hanya saja Ridwan menjelaskan, inilah (boleh jadi) arti harafiah dari istilah “rumah tangga” yang dikenal selama ini.

“Sebuah keluarga yang utuh tinggal di rumah yang ada tangganya. Makanya, bernama rumah tangga. Tangga balaksuji ini bagian rumah yang sarat nilai filosofi. Bisa disamakan dengan tangga spiritual dalam tradisi Betawi. Mungkin bisa diidentikkan dengan prinsip tangga dalam arsitektur kebudayaan lain, seperti Borobudur, atau suku kuno Inca. Bahwa memasuki rumah lewat tangga adalah proses menuju kesucian. Idealnya jika ada sumur di depan rumah, siapa pun yang hendak masuk rumah harus membasuh kakinya dulu, baru naik tangga, sehingga masuk rumah dalam keadaan bersih. Ini memang bukan soal fungsi, tapi perlambang,” katanya.

Di rumah modern yang dihuni masyarakat Betawi sekarang, banyak hal sudah hilang, termasuk tangga balaksuji ini. Hanya saja, kata Ridwan, di sejumlah kampung balaksuji dipertahankan, atau pindah lokasi. Tangga ini tidak ada di rumah penduduk, tapi ada di masjid kampung. Balaksuji dipasang di tempat khotib berkhotbah. Tangga ini menjadi tangga menuju mimbar. Kesuciannya dipertahankan di rumah ibadah. (ody)

Sumber: Harian Kompas, Minggu, 21 April 2002

Obrolan Orang Condet di milis

dari milis XeniaAvanza@yahoogroups.com orang Condet angkat bicara.
mari kita simak testimonial mereka tentang Condet.

rgds,
warga Balekambang

From: R. M. Irwan <irwan_at_kpei.co.id>
Date: Wed Mar 31 11:11:02 2004

wah banyak juga temen dari condet nih :) klo saya kebetulan gede di sana, maklum rumah ortu di batu ampar III sekarang kalo sabtu/minggu aja ke condet pekare macet mah udah makanan sehari-hari di condet, tinggal nikmatin aja :)

-----Original Message-----
From: Widya Danaryanto [mailto:Widya.Danaryanto@saipem.co.id]
Sent: Wednesday, March 31, 2004 11:02 AM
Subject: RE: [XeniaAvanza] orang condet hayoo ngakuuuu

Maaf buat yg bukan orang condet kalloo menuh-menuhin mailbox.

Condet adalah saat ini sangat strategis tempatnya. Jalan utama yg lurus dari Cililitan ke Rindam. Deket dgn tol ke Pondok Indah dan Bogor. Dekat dgn Tol Cikampek. Dekat dgn tol dalam kota kalo sudah berhasil melewati titik kemacetan.

Kata orang tiada hari tanpa kemacetan di Condet kecuali Magrib dan diatas jam 10 malem.. karena Condet adalah kampung Betawi dgn seribu gang ... yg berebut menembus jalan raya condet yg lebarnya cuman muat dua metromini plus satu motor ditengahnya.

Sebetulnya yg bikin macet bukan warga Condet, tapi warga Ciracas, Pasar Rebo, Cijantung, Tanjung Barat yg nyari jalan alternative dari berbagai arah menuju pusat kota. Mobil dan motor berpelat depok-cimanggis pun buanyak yg lewat.

Tapi jangan takut untuk tinggal di Condet. Ini jauh lebih baik daripada nyari rumah diujung perbatasan Jakarta. Kemacetan adalah hal yg biasa dimana-mana. Kan ada jalan tikus yg bisa dipelajari ...

Mau nyari rumah murah, udara segar, air bagus, nuansa kampong, tempatnya di Condet.
Waktu tempuh tergantung berangkat dari rumah. Kalo masih jam 6.30 dari rumah ane, bisa nyampe jam 7.15 di kuningan Kalo jam 7.00 bisa nyampe jam 8.15 di kuningan Kalo jam 7.30 bisa nyampe jam 9 di kantor kuningan.

Pulangnya ? Tergantung kemacetan Kuningan, Casablanca dan Dewi Sartika. Jam 16.30 bisa nyampe jam 17.30 Jam 17.00 bisa nyampe jam 18.15 Jam 17.30 bisa nyampe jam 18.45 Tapi jam 18.30 bisa nyampe jam 19.15. Aneh kan ?
Pak Wasis dan pak Adjie mau menambahkan ?

Regards, Antoyg hari pertama bersama avanza sudahdisenggolkacaspionnya oleh motordijalancondet

-----Original Message-----
From: Saleh, KMSMuhammad (IDN) [mailto:kms.saleh@idn.xerox.com]
Sent: Wednesday, March 31, 2004 10:30 AM

Kalo gw mo cari rumah di condet, berarti banyak yang bisa bantu informasi donk!
tapi kata adiknya mas anto, si mega, condet sering macet, bener nggak? mas anto, setiap hari, condet-kuningan, dari rumah jam brp? brp lama di jalan?

-----Original Message-----
From: Widya Danaryanto [mailto:Widya.Danaryanto@saipem.co.id]
Sent: 31 Maret 2004 10:36

Kalo gitu kite bise ngumpul en copy darat dong bang Wasis ... Udah ade bang Adjie Pranowo (X-Biege-B 8803 JX) tuh yg ngendon di Jl. Munggang.

Kalo ane mah gubuknya di gang kecil nih. Gg Al magfiroh deket sate tegal bu tri, didepan toko roti larisia yg udah tutup. Berarti bang Wasis adalah yg punya duluan entuh Avanza/Xenia di kampung Condet yak ? Dapetnya duluan kan ?
Salam betawi-emping condet, Anto.B.2838.OK-AvG.blue

-----Original Message-----
From: Wasisto@asc.co.id [mailto:Wasisto@asc.co.id]
Sent: Wednesday, March 31, 2004 10:30 AM

KTP Condet? Idem ditto...Same dong kayak ane punye...Ente Condet-nye sebelah mane Bang? Ane punye KTP alamatnye Jl. Condet Raya 28...deket tegongan yg jalannye nanjak..sebelahnye gg. Dahlie...jerr.

Salam nanjak,

-----Original Message-----
Date: Tue, 30 Mar 2004 15:22:42 +0700
From: "Widya Danaryanto" Widya.Danaryanto@saipem.co.id

Idem sama pak Wasisto. STNK saya yg keluar tgl 11 maret 04.
Regards, Anto-B.2838.OK.AvG.blue.KTPCondetJaktim.

Dodol Betawi Bu Mamas

"Dodol Betawi Bu Mamas", begitu yang tertera di label dodol buatan Masitoh (50), nama asli Bu Mamas. Label itu, menurut Bu Mamas, sungguh telah memberikan berkah
bagi kehidupannya.

Pernah suatu saat cetakan label itu habis sehingga terpaksa dodol dijual tanpa label. Padahal, sang pemesan telanjur memesan banyak. "Pemesannya telepon mau mbalikin dodol yang sudah dipesan gara-gara enggak ada labelnya. Dia khawatir jangan-jangan dodol itu bukan bikinan Bu Mamas," tutur Bu Mamas ketika berbincang dengan Kompas di warungnya di Jalan Batu Ampar I RT 13 RW 04 Condet, Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu (27/4).

Tidak hanya Bu Mamas yang berjualan dodol Betawi di Condet, namun nama Bu Mamas menurut warga sekitar lebih dikenal ketimbang yang lainnya. Bisa jadi karena label yang ditempel di dodolnya langsung menyebut nama pemiliknya.

Kesuksesan seseorang memang selalu dikaitkan dengan usahanya. Ada orang yang hanya duduk-duduk saja bisa cepat kaya, namun banyak yang harus kerja berpeluh-peluh untuk bisa sukses dan memetik hasil kepayahannya. Sebagai seorang perempuan dan ibu dari enam anak, kerja keras Bu Mamas layak diacungi jempol. Modal pinjaman yang tidak seberapa untuk membuat dodol belasan tahun yang lalu kini telah berbuah. Bu Mamas kini mempunyai tujuh karyawan yang setiap hari membantunya membuat dodol. Bahkan setiap bulan puasa, karyawannya bertambah menjadi 35 orang untuk mengimbangi pesanan dodol yang terus mengalir.

Bu Mamas masih ingat betul ketika pada tahun 1990-an dia masih membantu usaha mertuanya membuat dodol Betawi di Pasar Minggu. Setiap hari dia mengambil dodol dari Pasar Minggu dan dijualnya ke warung-warung sampai ke tanah kelahirannya di Condet. Upahnya sangat minim, sementara penghasilan suaminya tidak bisa diharapkan.
"Saya lalu berterus terang kepada mertua, saya mau bikin usaha sendiri di Condet karena capek mondar-mandir. Saya lalu mendapat pinjaman modal sedikit dan saya gunakan
untuk membuat dodol," kata Bu Mamas.

Bu Mamas pun membeli beras ketan, gula, dan kelapa. Setiap hari pada dini hari dia pergi ke Pasar Kramat Jati untuk menggilingkan beras menjadi tepung, juga memarutkan kelapa. Begitu terus setiap hari hingga bertahun-tahun. Lama-kelamaan, orang mulai menyukai dodol buatan Bu Mamas.
"Pas bulan puasa, saya mulai mendapat pesanan, mulai dari satu kuali, lima kuali, 10 lalu 20, 50, 100, dan saat ini saya sudah mendapat pesanan 500 kuali setiap bulan puasa. Tadinya saya hanya punya satu kuali yang saya pesan dari Cirebon seharga Rp 1,5 juta. Sekarang, saya punya 16 kuali, semuanya terbuat dari tembaga seberat 20 kilo," paparnya.

Satu kuali berisi campuran 10 liter beras ketan, 30-35 geluntung kelapa parut, dan 1,5-2 peti gula merah. Bisa juga dicampur durian atau nangka cempedak untuk menambah
rasa lain. Untuk membuat dodol yang pulen dan enak, dibutuhkan waktu sampai tujuh jam. "Dodol harus dimasak di atas kompor kayu karena dibutuhkan panas tinggi.
Kalau di atas kompor gas, dodol pasti tidak enak," ujar Bu Mamas. Untuk kebutuhan kayu bakar, sudah ada orang yang mengantar ke warungnya setiap hari. Jika bulan
puasa, Bu Mamas membutuhkan tiga puluh pick up kayu bakar. "Makanya, saya sudah nyetok dari sekarang kayunya," ujarnya.

Untuk penjualan sehari-hari, Bu Mamas hanya membuat satu kuali dan dijual ke sejumlah warung serta pelanggan dari berbagai penjuru Jakarta, seperti Bintaro, Slipi,
Cilandak, bahkan sampai Bandung. Pernah pula ada yang membeli banyak dan dibawa ke Saudi Arabia. Harga setengah kilo dodol Rp 8.000 dan Rp 10.000 untuk yang berasa durian. Jika membeli satu kuali, harga Rp 500.000.

Usaha dodol Bu Mamas terus berkembang. Kini dia sudah mempunyai dua mesin giling tepung dan sebuah mesin parut kelapa yang disimpan di pabriknya. "Jadi, saya tidak
perlu lagi menggilingkan beras ke pasar. Ya baru punya dua itu, usaha saya ya belum besar kok," ujarnya merendah.

Hanya dengan usaha dodol, Bu Mamas bisa menyekolahkan enam anaknya hingga lulus SMA. Bukannya tidak mau menyekolahkan anak hingga sarjana, Bu Mamas menyerahkan keputusan kepada anak-anaknya. "Orang Betawi ini, otaknya enggak mampu sekolah tinggi," katanya.

Meski demikian, Bu Mamas ingin anak-anaknya sukses dalam kehidupan. "Saya masih mempunyai keinginan membikinkan anak-anak saya toko satu-satu sehingga mereka bisa
mengembangkan diri," tandasnya. Harapan yang mengharukan dari seorang ibu untuk anak-anaknya. (susi IVVaty)

Makanan Arab-Betawi



... dari Jalansutra-nya Bondan Winarno di Kompas.

[searah jarum jam]
Nasi Tomat, Gule Merah, Sop Kikil Spesial.
[foto: Bondan Winarno]



Pernah kenal jajanan khas Betawi yang bernama Ali Bagente? Bahkan orang-orang etnis Arab-Betawi pun sudah banyak yang tidak lagi mengenal jajanan ini. Sederhana sekali. Cuma kerak (sisa nasi yang mengeras di pantat kuali ketika menanak) yang dikeringkan, kemudian digoreng, dan disiram kinca (gula merah).

Dugaan saya, dulunya si Ali sangat suka jajanan ini dan cinta pada orang yang membuatkan jajanan ini untuknya. Karena itu dia lalu bilang: “Ali bah ente.“ (Ali cinta kamu). Maka, serta-merta orang menyebut jajanan itu dengan nama Ali Bagente. Dasar telinga
Betawi! He he he ....

Di masa lalu, komunitas Arab-Betawi kebanyakan bermukim di daerah Kebon Pala (kawasan Tanahabang) dan Kebon Nanas (kawasan Jatinegara). Khusus etnis Arab yang berasal dari Pekalongan, ketika pindah ke Jakarta mereka kebanyakan bermukim di daerah Condet
Batuampar. Sekarang, karena mulai ’terjepit’ oleh pembangunan, maka banyak warga etnis Arab dari Kebon Pala dan Kebon Nanas yang juga ikut berkumpul di Condet. Menurut seorang warga, hampir 80 persen penduduk Condet sekarang berasal dari keturunan Arab.
Tak heran kalau di Condet sekarang kita banyak menemukan masakan Arab. Di Jalan Otto Iskandardinata (Otista), Jakarta Timur, kini hanya tinggal satu rumah makan masakan Arab, yaitu milik pemain sinetron Haji Nazar Amir.

Belum lama ini saya diajak teman lama – Mas Harun Musawa dan istrinya, Mbak Nunik – makan di kawasan Condet, Jakarta Timur.
Saya diajak ke sebuah rumah bercat hijau tanpa papan nama di Jalan Condet Raya. Memasuki rumah sederhana, tampak beberapa meja rendah untuk makan lesehan (duduk di lantai). Di kartu menu disebut ”Hidangan Khas Jawa Timur”. Tetapi, lho, kok tidak ada rawon?

Tulisan itu memang sangat misleading. Pemilik rumah, Thalib Musawa, sebetulnya malah kelahiran Jawa Tengah. “Tetapi, ibu saya dari Banyuwangi,” katanya berkilah. Dan menu makanan yang tercantum di sana semuanya adalah masakan Arab. Gule kacang ijo, misalnya, tentu sebetulnya adalah dalcha.


Kami memesan nasi tomat, sop kikil spesial, dan gule merah. Nasi tomatnya mengingatkan saya pada Nasi Kandar ”Pelita” di Penang, Malaysia. Nasi khas masakan Mamak (Muslim India). Tomat direbus, lalu dibuang kulitnya. Air rebusan dan tomatnya dipakai untuk menanak nasi yang dibumbui. Karena itu, rasa asam dari tomatnya terasa nendang banget pada sajian ini. Dalam nasi tomat itu juga saya temukan salam koja (sering disebut juga sebagai daun kari) yang memang banyak dipakai sebagai bumbu masakan Arab.

Gule merahnya sangat medok. Sangat bersantan dan berbumbu. Dagingnya empuk. Sop kikilnya berkuah encer, tapi dagingnya empuk – kikil yang masih menempel di kaki kambing. Kalau mau kuah yang kental, harus bilang kaldu kikil ketika memesan.

Pada tiap hari Jumat, Thalib juga menyediakan menu khusus yang disebut harisa – bubur daging kambing dengan oatmeal (havermout, bubur gandum). Harisa disajikan dalam mangkuk, dan dibubuhi sesendok mentega di atasnya. (Hmm, minyak samin tentu lebih afdol, ya, mestinya?). Sesendok pertama yang saya cicipi membuat saya langsung berpikir ke corned beef. Havermout-nya basa-basi banget. Yang lebih banyak justru daging kambing yang sudah dimasak lama hingga sangat empuk dan sudah hancur. Sangat machtig! Berbeda dengan bubur kambing a la Pekalongan (pakai beras dan banyak bawang merah) yang pernah saya cicipi di tempat William Wongso. Kata salah seorang tamu lain, kalau mau makan harisa yang paling enak, harus cari di daerah Kwitang. Well, not my cup of tea!

Di meja juga tersedia roti untuk sarapan atau cemilan yang disebut roti mariam (kadang-kadang disebut juga sebagai roti konde). Sangat mirip roti canai, tetapi dalam versi lebih bantat.
Dimakan dengan taburan gula halus dan kayu manis – menjadikannya sangat mirip danish roll.

Tidak jauh dari rumah makan Thalib Musawa, ada sebuah rumah makan Arab lain yang lebih terkenal. Namanya ”RM Puas”. Jangan salah, ini bukan cabang ”RM Puas” di Pekalongan yang legendaris karena nasi kebulinya yang kondang ke mana-mana. ”Puas” sebenarnya
adalah perusahaan jasaboga (catering) merangkap rumah makan yang sudah punya tiga gerai di Jakarta, yaitu di dekat Mesjid As-Sholihin Condet, di belakang RCTI Kebon Jeruk, dan di Jalan Raya Jatiwaringin.

Ha, mungkin ketika membaca tulisan ini ada di antara Anda yang sambil bertanya-tanya: ke mana gerangan nasi kebuli lezat yang dulu mangkal di Hotel Sriwijaya, Jalan Veteran, Jakarta Pusat? Ya, inilah dia! Shadiq Assegaff, pemiliknya, memang sudah menutup gerai yang di Hotel Sriwijaya dan pindah ke Condet untuk mendekati stakeholders-nya yang banyak bermukim di sana.

Hidangan unggulan ”Puas” adalah roti jala dan roti canai. Keduanya bisa dimakan dengan kari kambing (atau ayam) yang bisa bikin lidah berdansa. Tentu saja “Puas” juga punya nasi kebuli (ayam dan kambing) yang banyak disukai orang. Jangan lewatkan sambosa untuk appetizer dan kue srikaya sebagai pencuci mulut. Martabak “Puas” juga punya penggemar luas.
Selain versi rumah makan dan restoran, ternyata, di Jakarta juga ada masakan Arab yang dikemas dalam versi gaul. Coba singgah ke “Little Baghdad” di daerah Kemang. Kafe yang hanya buka malam ini merupakan salah satu tempat rendezvous favorit para remaja. Kalaupun makanannya tidak hebat-hebat amat, di sini mereka bisa mengisap sheessa – merokok menggunakan pipa air khas Timur Tengah.

Di Jakarta ada beberapa restoran yang menghidangkan masakan Arab. Di daerah Petamburan, misalnya, ada ”Sindbad” yang terkenal dengan nasi briyani dan nasi kebuli-nya. Di Jalan Raden Saleh juga ada beberapa restoran yang menyajikan masakan Timur Tengah. Tetapi, bagi warga etnis Arab, restoran-restoran yang saya sebut tadi lebih ’meng-India’. Masakan India memang lebih kaya bumbu dibanding masakan Arab. Ada juga ”Anatolia” di Kemang yang lebih berciri Turki.

Bagaimana pula dengan nasi goreng kambing? Ah, kalau kita mengenal masakan peranakan yang merupakan campuran seni masak Indonesia-Tionghoa, mungkin nasgorkam ini termasuk gagrak cara masak silang Indonesia-Arab.

Yang dianggap otentik masakan Arab adalah restoran ”Hadramaut” di Jalan Tambak. Hadramaut adalah nama lain dari Yaman (Yemen). Menu ”Hadramaut” sangat sederhana dan straightforward: kambing atau ayam. Kalau siang hanya ada mandhi (kambing atau ayam
yang dimasak dalam oven khusus di dalam tanah). Sedang malam harinya cuma ada madbhi (kambing atau ayam panggang/bakar). Kambing atau ayam disajikan bersama nasi berbumbu gurih (semacam nasi kebuli). Dagingnya sangat empuk. Kalaupun ada sayuran, salad yang dihidangkan (harus dipesan khusus) hanya terdiri atas irisan timun dan bawang bombai.
Yang unik, di ”Hadramaut” kita bisa makan mengikuti tradisi Arab yang khas. Kalau kita makan berempat, misalnya, nasi dan lauknya akan dihidangkan dalam satu talam besar, dan kita berempat makan ramai-ramai secara komunal dari satu talam yang sama.
Jangan lupa memesan kopi yang dahsyat. Nikmat, dah!

Ahlan wa syahlan!

Menjadi Asing di Rumah Sendiri

Masih ingat dengan kawasan Condet? Dulu kawasan yang yang ada di Jakarta Timur ini identik dengan tempat tinggal orang Betawi. Pada 1976 Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mencanangkan Condet sebagai cagar budaya Betawi. Sayang, cagar budaya tersebut hanya bertahan sekitar 10 tahun. Selanjutnya Condet hanya tinggal kenangan. Suku Betawi di kawasan yang terdiri atas Kelurahan Bale Kambang, Batu Ampar, dan Kampung Tengah ini menjadi minoritas. Menurut sensus penduduk 2000, jumlah warga Betawi di kawasan Condet hanya 1,5 persen dari total penduduk di kawasan tersebut.

Setelah kawasan cagar budaya Betawi hilang, di mana orang Betawi tinggal sekarang? Menurut peta sebaran etnis Betawi di Jabodetabek, sebagian besar orang Betawi kini tinggal di Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kota Jakarta Pusat, dan Jakarta Barat.
Dibandingkan dengan suku-suku lainnya, dalam hal jumlah, orang Betawi mendominasi wilayah Kabupaten Bekasi. Hampir 50 persen penduduk Bekasi adalah orang Betawi. Mereka menetap di Kecamatan Tarumajaya, Babelan, Tambelang, Tambun Utara, Sukawangi, Sukakarya, Karang Bahagia, dan Cikarang Barat.

Selain mendominasi Kabupaten Bekasi, orang Betawi juga banyak tinggal di Kota Depok. Hampir 34 persen penduduk Depok sekarang adalah suku Betawi. Sebagian besar dari mereka bertempat tinggal di Kecamatan Sawangan dan Pancoran Mas.

Sensus penduduk (SP) tahun 2000 mengungkapkan bahwa masih ada suku Betawi yang menempati kawasan Jakarta Pusat. Ada sekitar 30 persen warga Betawi di wilayah tersebut. Penduduk Betawi yang ada di Jakarta Pusat kebanyakan ditemukan di Kelurahan Kampung Bali, Kebon Sirih, Kwitang, Kramat, Pegangsaan, Cikini, Kebon Melati, Kebon Kacang, Kenari, Paseban, Petamburan. Perkampungan Betawi di Jakarta Pusat sebagian besar merupakan perkampungan asli Betawi, seperti kawasan Cikini, Tanah Abang, Pejompongan, dan Kebon Sirih-dulu dikenal dengan sebutan Kampung Betawi Tengah.

Jakarta Barat juga merupakan tempat tinggal orang Betawi. Di antara suku-suku lainnya, jumlah warga Betawi di wilayah tersebut cukup banyak. Ada 552.000 jiwa warga Betawi atau sekitar 30 persen dari total penduduk yang menetap di bagian barat Jakarta tersebut. Mereka tersebar di Kelurahan Kamal, Duri Kosambi, Meruya Selatan, Kembangan Selatan, Cengkareng Barat, Sukabumi Utara, Sukabumi Selatan, dan Kota Bambu Selatan.
Di luar itu, sebagian suku Betawi tinggal di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Hampir 80 persen penduduk Kepulauan Seribu adalah suku Betawi.

Warga Betawi tidak hanya ada di Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat. Di wilayah Kota Tangerang sebagian besar warga Betawi tinggal di wilayah timur, yang berbatasan langsung dengan Jakarta, seperti Kecamatan Benda, Kosambi, Pinang, Cipondoh, Teluk Naga, dan Paku Haji. Apabila dibandingkan dengan suku-suku lainnya, jumlahnya termasuk minoritas. Jumlahnya yang menetap di Kota Tangerang hanya sekitar 20 persen dari seluruh penduduk kota itu.

Wilayah tetangganya, Kabupaten Tangerang, juga dihuni oleh orang Betawi. Akan tetapi, hanya di bagian timur yang penduduknya mayoritas adalah orang Betawi. Hal ini seperti terlihat di Kecamatan Serpong, Pondok Aren, dan Malik, yang dihuni oleh sekitar 70 persen orang Betawi.
Berapa jumlah orang Betawi di Jakarta? Sensus penduduk 2000 mencatat ada 2.301.587 jiwa di Jakarta. Selain itu, orang Betawi yang tinggal di Tangerang, Depok, dan Bekasi jumlahnya mencapai 2.339.083 jiwa.

Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Betawi pada tahun 1930 yang mencapai 778.593 jiwa, terlihat peningkatan yang mencolok. Namun, jika dibandingkan dengan total penduduk Jakarta, persentase orang Betawi menunjukkan penurunan. Kalau pada 1930 jumlah mereka 54 persen dari penduduk Jakarta, pada 2000 orang Betawi hanya 30 persen dari seluruh jumlah warga Ibu Kota. Kaum pendatang, aneka suku bangsa, telah membanjiri Jakarta dan orang Betawi tersingkir, didorong arus urbanisasi.

Sesudah cagar budaya Betawi di Condet lenyap, baru pada tahun 2001 Gubernur Sutiyoso melanjutkan perhatian terhadap Betawi yang kian terpinggirkan. Situ Babakan di Kelurahan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, ditetapkan sebagai perkampungan Betawi. Hampir 70 persen penduduk kelurahan itu merupakan orang Betawi. Namun, apakah dalam sepuluh tahun ke depan orang Betawi masih dominan di Srengseng Sawah? Tidak ada yang tahu. Orang Betawi telah menjadi asing di rumahnya sendiri.
(M Puteri Rosalina/Litbang Kompas)

comment ane:
ane sendiri pendatang halal di condet. membeli rumah di atas tanah yang semula dimiliki orang betawi asli condet yang kemudian pindah ke daerah Pasar Rebo. Ane tidak membeli langsung darinya, tetapi dari tangan ke dua, orang Jawa-Palembang yang pindah ke Tebet.