Monday, March 14, 2005

Lambang Trans Jakarta

Di bagian depan bus tertulis trans-Jakarta dan di kacanya tertera B01 Bus Way. Bus lainnya tertulis B01 Bus Way Blok M-Kota. Di sisi kanan dan kiri terpampang gambar seekor elang bondol serta salak condet, ciri khas Betawi.

dikutip dari webnya pelangi.or.id

Arab Condet

Alwi Shahab, penulis dan pemerhati sejarah yang juga keturunan Arab, mengatakan, pada tahun 1950-an sekitar 95 persen penduduk Pekojan masih keturunan Arab. Mereka berpindah tempat ke Condet, Jatinegara, Tanah Abang, Depok, hingga Bogor. "Arab yang di sini semuanya datang dari Hadramaut, provinsi di Yaman Selatan," kata Alwi.

dinukil dari "Kampung Arab yang Tak Lagi Jadi Kampungnya Orang Arab", Kompas 17 Mei 2004

Al Hawi

Habib Abdulkadir Alhadad, pengurus Al-Hawi di Condet, Jakarta Timur adalah salah satu murid Sayid Muhammad Al-Maliki (Sayid Muhammad Bin Alwi Bin Abbas Alhasani), ulama kenamaan Makkah.

Kebesaran Al Maliki, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara Afrika, Mesir, dan Asia Tenggara. Ayahnya Sayid Alwi Al Maliki adalah guru dari pendiri NU, KH Hasyim Ashari. Dia juga pernah menjadi guru besar di Masjidil Haram pada 1930-an dan 40-an. Banyak ulama sepuh dari Nahdlatul Ulama (NU) yang menimba ilmu dari Sayid Alwi Al-Maliki. Sepeninggal Sayid Alwi, kiprahnya dilanjutkan oleh Sayid Muhammad Al-Maliki.

Dinukil dari artikel Alwi Shahab di Republika 12 Nopember 2004

Gagal di Condet, Setu Babakan Diincar

MINGGU (20/2) siang, puluhan anak perempuan berlatih menari di Pusat Perkampungan Betawi Setu Babakan, Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Panggung utama di kawasan konservasi budaya Betawi itu penuh oleh penari-penari cilik.
Di sudut lain, belasan remaja pria tengah berlatih pencak silat. Seorang pelatih memperagakan gaya-gaya tertentu, yang kemudian ditirukan oleh peserta latihan silat itu. Nyaris tak ada celah di pelataran dan panggung Setu Babakan itu karena hampir semua sisi dipenuhi dengan anak-anak yang serius berlatih.
Melingkar di sekeliling pelataran ber-paving block itu terdapat beberapa rumah khas Betawi, yang sengaja dibangun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, untuk konservasi budaya Betawi. Salah satu rumah, yakni yang berada di ujung selatan, adalah rumah Haji Samin Jebul alias Bang Anin, warga asli Betawi di kawasan itu. Dulunya, di teras rumah itu, keluarga Bang Anin berjualan gado-gado jakarta.
Menuruni tangga di depan rumah Bang Anin akan terlihat pemandangan Setu Babakan yang-untuk ukuran Jakarta yang kebanyakan semrawut- terlihat indah. Tepian danau ditumbuhi pepohonan.
Di bawah pepohonan rindang itu ada beberapa warung makan yang namanya juga berciri Betawi. Sebut saja Warung Mpok Penih dan Warung Mpok Rohani. Makanan yang dijual bisa disebut sebagian besar khas Jakarta, seperti soto betawi, juga kerak telor yang didagangkan dengan pikulan, seperti biasa menjamur saat Pekan Raya Jakarta. Meski begitu, di sana-sini juga ada penjual makanan bukan Betawi, seperti bakso dan burger sapi.
Pada Minggu itu, banyak pasangan muda-mudi yang memanfaatkan suasana Setu Babakan untuk berduaan. Selain itu, banyak pula remaja yang datang berkelompok dan menikmati kerak telor bersama-sama. Di seantero danau, sejumlah pengunjung mengelilingi danau dengan becak air.
Keriaan di kawasan situ itu berlanjut dengan pergelaran orkes keroncong beberapa saat menjelang sore. Salah satu tembang yang dilantunkan adalah keroncong Setu Babakan, yang dinyanyikan langsung oleh penciptanya, Yoyo Muchtar.
Yoyo, tak lain adalah aktivis budaya Betawi, yang juga penggagas kawasan konservasi Setu Babakan tersebut. Kini, namanya tercatat sebagai Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi dan Ketua Subbidang Pengembangan Potensi Budaya, Badan Musyawarah Betawi, selain pekerjaannya sehari-hari sebagai Kepala Seksi Pengawasan Usaha Pariwisata.
Menurut warga asli Betawi itu, ide kawasan konservasi di Setu Babakan berawal dari arahan Pemerintah Provinsi DKI pada tahun 1996 agar ada aset wisata Jakarta Selatan yang dapat dimaksimalkan. Ia, yang saat itu sebagai Kepala Seksi Objek dan Daya Tarik Wisata Jakarta Selatan, lalu memutar otak.
"Kemudian ada masukan dari Bappeda bahwa ada satu aset pemerintah yang bisa menjadi daya tarik, yaitu Situ Babakan ini. Kebetulan, saya orang Betawi dan pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi. Sementara saya melihat bahwa kondisi situ ini terbengkalai. Jalannya belum aspal seperti sekarang, jadi masih becek di mana-mana. Suasananya juga sepi," katanya.
CIKAL bakal "kemeriahan" di Setu Babakan dirintis pada 13 September 1997 dengan adanya acara "Sehari di Setu Babakan". Ketika itu diadakan berbagai lomba, seperti lomba menghias getek, lomba kano, lomba buah, dan lomba masak sayur asem.
Cara memakan sayur asem pun diawali dengan hidangan pembuka, seperti trancam dan asinan, untuk membangkitkan selera. Kemudian, ditutup dengan air manis dan buah-buahan. "Jangan lupa, Jakarta juga mempunyai buah-buahan yang khas, semacam belimbing dewi, rambutan rapiah yang terkenal itu, dan nangka," ujar Yoyo menambahkan.
Dari kekayaan buah-buahan asli itu pula, tercipta lagu Papaya Cha Cha karya Adi Karso. Syairnya, "Pepaya, mangga pisang jambu. Dibawa dari Pasar Minggu. Di sana banyak penjualnya. Di kota, banyak pembelinya...."
Acara "Sehari di Setu Babakan" berlangsung relatif sukses. Setelah itu, beberapa penggiat budaya Betawi berusaha melibatkan berbagai instansi terkait untuk mempercantik situ itu. Benar saja. Setelah itu, Dinas Pertanian pun menanam bibit-bibit pohon, sedangkan Dinas Perikanan menebar ratusan benih ikan. Jalannya pun diperbaiki.
Bersamaan dengan itu, ide untuk menghidupkan kawasan Setu Babakan sebagai konservasi budaya Betawi terus bergulir hingga tingkat Pemerintah Provinsi DKI. Persoalannya, sejauh mana konservasi ini akan dipertahankan? Jangan-jangan seperti nasib Condet yang pernah menjadi konservasi budaya Betawi, tetapi kini tinggal cerita. (ADI PRINANTYO)

Sumber: Kompas 23 Februari 2005

LEGENDA PANGERAN CODET

Masa lalu Condet sampai kini masih berselimut kabut. Penemuan kapak batu zaman neolitikum memang membuktikan, daerah subur ini telah lama dihuni orang. Namun, dari mana asal kata "Condet", masih jadi perdebatan. Salah satunya, legenda Pangeran Geger yang tak diketahui asal-usulnya, penguasa Condet di pertengahan abad ke-18. Konon, nama Condet berasal dari nama alias Geger, yakni Pangeran Codet (karena ada bekas luka di dahinya, dalam bahasa Betawi disebut codet).
Beristrikan Polong, si Codet memiliki lima anak. Salah satu anaknya, Maemunah memiliki paras nan rupawan, sehingga menawan hati pangeran asal Ujung-pandang, Astawana, yang tinggal di sebelah timur Condet. Karena Astawana punya kesaktian tinggi, Maemunah meminta mas kawin agak nyeleneh. Dia minta dibikinin dua rumah di dua lokasi berbeda (kini Batuampar dan Balekambang), hanya dalam satu malam. Permintaan itu berhasil dituruti sang pangeran.
Maemunah pula, yang kemudian mewarisi tanah Condet dari ayahnya. Sayang, si cantik ini kemudian diperdaya tuan tanah Belanda, Jan Ament. Keturunan Jan yang tinggal di rumah besar di Kampunggedong, bahkan akhirnya menjadi penguasa turun temurun Condet. Anak-anak Ament rajin membuat aturan "yang enggak-enggak". Rakyat harus membayar sewa tanah setahun sekali, sedangkan anak lelaki wajib nyetor "kompenian", semacam pajak kepala sebesar 25 sen/minggu. Tak heran tahun 1916, rakyat Condet dipimpin Entong Gendut melakukan perlawanan terhadap penguasa semena-mena itu, meski berhasil ditumpas kumpeni.
Baru pascakemerdekaan, keistimewaan tuan tanah diberangus. Condet kembali menjadi milik rakyat!

Sumber: Intisari Online, Juni 2004

Dikepung mal

Itulah "surga" yang dilihat Bang Ali ketika menetapkan Condet sebagai cagar budaya tahun 1976 silam. Kebijakan itu lantas ditindaklanjuti gubernur berikutnya, dengan menelurkan kebijakan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) 80% bagi kawasan Condet di pertengahan 1980-an. Berdasarkan KDB, orang Condet yang punya tanah 100 m2 hanya boleh membangun rumah seluas 20 m2. Sisanya, 80 m2 (80%) jatah air. Aturan ini dibikin, katanya lantaran Condet mau dilestarikan sebagai daerah resapan air.
Ironisnya, justru aturan-aturan "hebat" itu yang belakangan hari merampas "surga" Condet. Salak dan duku yang sejak baheula menjadi trade mark Condet, tak lagi tersaji di kios-kios buah. Jumlah petaninya tak lagi signifikan, seiring makin sempitnya lahan. Monyet dan berbagai burung langka pun ikut lenyap. Eksploitasi besar-besaran terhadap binatangbinatang itu, plus berkurangnya pohon tempat mereka bersarang, membuat acara bangun pagi orang Condet tak lagi dimarakkan suara burung.
Tak cukup mengancam maskot buah-buahan dan hewan, Condet sekarang juga makin kehilangan daerah resapan airnya. Kebijakan KDB 80% dianggap sebagai angin lalu. Cobalah berkeliling kelurahan Batuampar, Balekambang, atau Kampungtengah. Nyaris tak ada bangunan yang menaati aturan Pemda. Melihat Condet kini, tak beda melihat kawasan lain di Jakarta. Penuh bangunan beton nan bergaya, mulai model Spanyol hingga Mediterania.
Bagaimana dengan pelestarian budaya Betawi? Ah, lebih parah lagi. Penelitian Dinas Kebudayaan DKI menunjukkan, tahun 1991 Condet cuma menyisakan tujuh rumah tradisional Betawi. Tahun 2004 tentu lebih parah. "Mungkin tinggal 1% dari jumlah rumah di sini," aku Kuswara, sekretaris kantor kelurahan Balekambang. Padahal, Balekambang termasuk wilayah yang memiliki komposisi penduduk paling "konservatif." Dari 19.000-an warga, "hanya" sekitar 30% yang bukan orang Betawi.
Rumah tradisional yang didatangi Intisari, milik H. Mughni di Jln. Pangeran, Balekambang, kondisinya sangat mengenaskan. Ornamen lisplangnya sudah dimakan rayap. Pagar beranda bercampur tembok. "Terpaksa diterali juga, habis kita pernah kecolongan lampu antik," jelas Khalil, suami cucu H. Mughni. Khalil tampak gusar karena janji bantuan renovasi yang didengungkan Pemda belum juga terlaksana. "Tapi kita akan sekuat tenaga mempertahankan rumah ini, dengan atau tanpa bantuan," ujar Khalil.

Sumber: Intisari Online, Juni 2004

Bikin frustrasi

Mengapa "surga" di Condet makin mendekati "neraka", meski Pemda DKI sudah menjejalinya dengan beragam peraturan? "Pemda kurang melakukan sosialisasi. Akibatnya, bahasa 'yang di atas' dengan rakyat kebanyakan penghuni Condet tak pernah seragam," tandas Tinia Budiati. "Tambahan, eksekusinya dijalankan oleh orang-orang yang tidak punya sense of belonging terhadap Jakarta. Mereka bukan orang yang secara sadar ingin memelihara tradisi dan budaya kota yang telah memberi mereka nafkah," imbuh Tinia.
Penulis buku Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta, Ridwan Saidi juga menganggap aturan Pemda DKI banyak merugikan warga Condet. "Mereka enggak bisa memanfaatkan fungsi komer-sial tanahnya sendiri," bilang Ridwan. Bayangkan, orang Condet harus bercocok tanam untuk mempertahankan populasi duku dan salak, tanpa kompensasi. Namun di sekitar Condet berdiri jaringan supra moderen. Pemda membuat kawasan sekitar Condet bernilai ekonomi tinggi, sehingga mendorong ledakan urbanisasi. Dengan kondisi seperti itu, adilkah memaksa orang Condet bertahan dengan segala tradisinya?
Orang Condet juga melihat, Pemda DKI tidak menjalankan fungsi kontrol dengan konsisten. Makin hari kian banyak berdiri rumah-rumah moderen, termasuk "losmen" para tenaga kerja yang akan diberangkatkan ke luar negeri. Bangunan-bangunan baru yang sebagian besar melanggar aturan KDB 80% itu tak pernah digubris Pemda. "Masak saya harus tutup mata terus melihat yang kayak gitu!" sergah H. Sapri, warga Balekambang.
Condet kini memang telah melenceng jauh dari cita-cita Bang Ali. Fungsi cagar budaya, reservasi buah dan hewan khas Jakarta telah gagal total. Sungguh aneh, jika aturan-aturan itu masih juga dipertahankan hingga detik ini. Jika tak berniat membentuk lembaga kontrol yang lebih bergigi, sebaiknya Pemda DKI mengucap selamat tinggal pada cagar budaya dan sejenisnya. Budaya mana yang hendak dicagar, kalau kenyataannya reservasi di Condet tak pernah terjadi?
Belakangan, Pemda justru membuat proyek baru, Perkampungan Budaya Betawi di Situ Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Lo, Condetnye mo diapain, Bang Yos?

sumber: intisari Online Juni 2004

Menjaga codot

Padahal, dulu banyak orang optimistis Condet bakal menjadi trade mark Jakarta. Berbatasan dengan bekas terminal bus Cililitan dan Pasar Minggu, Condet salah satu kawasan yang 90% penduduknya asli Betawi. Condet tahun 1970-an, versi Condet, Cagar Budaya Betawi karangan Ran Ramelan, terdiri atas kelurahan Kampungtengah, Batuampar, dan Balekambang. Luas selu-ruhnya 632 ha. Balekambang rata-rata dihuni 28 jiwa/ha, Batuampar 35 jiwa/ha, dan Kampungtengah 40 jiwa/ha. Bandingkan dengan tingkat hunian rata-rata di DKI saat itu yang 100 jiwa/ha.
Condet kaya akan kebun berpohon rindang. Udaranya bersih, penuh kicauan burung kakak tua jambul putih, bayan, nuri, dan banyak lagi. Monyet melompat dari pohon ke pohon. Rata-rata orang Condet bertanam buah-buahan, terutama duku dan salak. "Salak Condet bahkan masuk buku teks wajib anak-anak SD zaman Belanda, karangan W. Hoekendijk," bilang Dra. Tinia Budiati, M.A., penulis The Preservation of Betawi Culture and Agriculture in the Condet Area, yang juga direktur Museum Sejarah Jakarta.
Pohon duku di Condet banyak yang sudah berumur puluhan tahun. Saat musim duku tiba, hampir saban malam kaum lelakinya meronda di atas pohon, yang punya dahan liat dan kuat. Mereka berjaga dari codot dan kalong, yang konon hanya takut pada pohon yang "dihinggapi manusia". Condet juga penghasil pisang (terkenal besar dan manis), durian, dan melinjo yang diolah jadi emping. Kabarnya, emping Condet sangat gurih. Kalau di tempat lain, sebelum digecek, melinjo direbus lebih dahulu. Nah, di Condet, melinjo tidak direbus, melainkan dinyanya alias digoreng.
Kekhasan Condet juga terlihat dari bahasa Betawi yang mereka gunakan, adat istiadat yang banyak mengambil nilai-nilai Islam, serta bentuk rumah mereka. Rumah asli Condet berlantai tanah, berdinding kayu. Jendelanya dinamai jendela bujang (bertirai batang bambu). Disebut jendela bujang, karena kerap dimanfaatkan bujang untuk mengintip calon istrinya yang dipingit di balik beranda. Serambi muka terbuka, hanya dibatasi pagar kayu setinggi pinggang serta ornamen khas di lisplang. Di belakang beranda ada pangkeng atau kamar tidur.
Di antara tiga kelurahan tadi, Balekambang yang paling kuat memegang tradisi. Mereka sangat fanatik dengan sekolah agama. Untuk mendapat ilmu yang lebih tinggi, tak jarang para pemudanya bertualang ke Suriah atau Mesir. Mereka lebih fasih memainkan gambus dan qasidah. Lenong dan gambang keromong masih dianggap sebagai punye orang luar. Leluhur Balekambang bahkan beranggapan, daerah mereka "terlarang" buat orang asing. Pendatang yang hendak berniaga, harus siap-siap bangkrut. "Kutukan" yang kini tak lagi terbukti.

Sumber: intisari online